Keras! Imparsial dan JAKATARUB Kritisi Laporan UPR Indonesia

Share On Your Social Media

Indonesia secara berkala melaporkan ratifikasi pemenuhan HAM melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) kepada dewan PBB pada Rabu-Kamis (9-10/11) di Palais des Nations, Jenewa, Swiss. Dalam kesempatan kali ini, laporan tersebut dipresentasikan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Indonesia,Yasonna Hamonangan Laoly. Acara inipun dapat disaksikan langsung melalui webcast UN TV.

UPR merupakan sebuah mekanisme lima tahunan evaluasi pencapaian HAM negara-negara anggota PBB. Dalam evaluasi tersebut, negara melaporkan pencapaian HAM serta sejumlah rekomendasi yang telah dilaksanakan.

Sebagai respon laporan pemerintah Indonesia dalam UPR, Imparsial dan JAKATARUB mengadakan diskusi terbuka dengan tema: “Sejauh Manakah Komitmen Indonesia Untuk Pemenuhan HAM Khususnya Tentang Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan.” Diskusi ini dilaksanakan pada hari Jumat (11/11) di Kuliner Designic, Arcamanik, Kota Bandung.

Dalam diskusi, wakil direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra, mengkritisi dengan keras ketidakmaksimalan laporan yang dibeberkan pemerintah Indonesia.

“Laporan UPR versi pemerintah tidak menyertakan point-point yang justru sedang ramai dibahas di tengah masyarakat Indonesia, seperti regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), perlindungan KBB dan perspektif gender dalam isu KBB,” ungkap Ardi.

Dalam laporan, menurut Ardi, pemerintah Indonesia menyembunyikan fakta-fakta tentang kondisi toleransi di Indonesia. Dalam banyak hal justru sangat normatif dan jargonal. Sekadar menyatakan bahwa Indonesia adalah negara bhineka tunggal ika.

“Justru dengan semakin beragamnya Indonesia akan berpotensi memicu terjadinya kasus intoleransi. Ini yang harusnya dibeberkan di laporan, mengigat masih banyak kasus intoleransi,” Ardi berargumen.

Ardi mencontohkan satu hal yang dibanggakan, yaitu pencapaian penyelesaian kasus GKI Yasmin yang sudah hampir 20 tahun mencari jalan keluar. Namun, menurutnya dengan solusi relokasi akar persoalan konflik GKI Yasmin, yaitu intoleransi warga, tidak terselesaikan. Demikian pula program moderasi beragama, yang terkadang abai pada kenyataan justru di institusi pemerintah praktik diskriminasi dan intoleransi terjadi.

Koordinator Jakatarub, Arfi Pandu Dinata mengatakan bahwa banyak kasus yang tidak diekspos serius oleh pemerintah, seperti regulasi tentang izin mendirikan bangunan (IMB) juga isu penodaan agama.

“Sikap pemerintah menyangkal, misal menyatakan tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Padahal, konflik KBB itu nyata, harusnya hal tersebut diakui oleh negara. Dan mengerikannya konflik KBB tersebut semakin dibenarkan oleh institusi negara semisal dengan surat keputusan bersama menteri atau peraturan daerah,” tutur Arfi.

Diskusi ini dihadiri sejumlah kaum muda dari berbagai komunitas seperti dari Mahasiswa UIN Bandung, Komuji, Salim, Iteung Gugat dan PSPP Nawang Wulan.

Penyelenggara berharap dengan memantau mekanisme UPR, masyarakat sipil bisa mengawal serta mengawasi kerja pemerintah khususnya dalam isu KBB. Bahkan bisa aktif terlibat, mengingat mekanisme UPR juga menerima laporan versi masyarakat sipil, sebagaimana Imparsial dan beberapa lembaga nasional telah mengerjakannya.

Sebagai masyarakat sipil, suara kita tidak sia-sia, upaya sekecil apapun dapat berguna dan didengar, karena UPR bersifat meaningfull participation. Ini sekaligus menjadi moment baik untuk masyarakat sipil dalam mengkritisi dan mengapresiasi capaian pemerintah di isu HAM.

Editor : Risdo Simangunsong

 


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 160

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *