Jalan Tak Tenang Menuju Damai. Refleksi Personal Satu Dekade BALAD

Share On Your Social Media

Oleh: Yunita

Festival Bandung Lautan Damai (BALAD) sudah menginjak tahun kesepuluh. Inisiatif warga Bandung merayakan keberagaman dan menolak intoleransi, lewat momen Hari Toleransi Internasional 16 November tersebut, kini telah melintas generasi. Sebelas kali dikerjakan dengan cakupan makin meluas dan menginspirasi perayaan yang sama di banyak kota di Indonesia. Pembukaannya tahun ini https://jakatarub.id/blog/pesta-rakyat-balad-2022-berlangsung-meriah/ baru saja dikerjakan dengan kreatif oleh anak-anak muda Bandung.

Semarak BALAD, tentu saja membuat kami para penggagasnya bercampur rasa. Antara haru, bangga, bahagia, sekaligus juga trenyuh dengan berbagai cerita. Buat saya pribadi, BALAD memang memberi kesan yang begitu dalam, bahkan mempengaruhi sikap saya dalam bergerak di isu keberagaman.

*
Saya ingat sekali November 2012 silam. Situasi Bandung cukup mencekam. Beberapa waktu sebelumnya, segerombolan orang menyerang rumah ibadah, merusak dan mengancam keselamatan kawan-kawan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bandung.

Atas desakan organisasi-organisasi yang bergerak HAM dan berbagai pihak yang prihatin, ketua gerombolan tadi ditahan polisi, meski tak lama langsung dibebaskan. Sebelumnya, masih di tahun itu, mereka pernah melakukan pawai di bulan Ramadhan. Mengancam akan melakukan sweeping jika ada rumah makan dan tempat hiburan yang beroperasi. Mengancam perempuan yang berpakaian terbuka di tempat umum. Mereka juga diduga terlibat pencekalan dan pembatalan event tato internasional, Bandung Berwarna: Youth of Body Art Festival.

Jelas, ada ketidaktegasan sikap aparat terhadap perilaku mereka. Ada pula sejumlah peraturan daerah di Jawa Barat yang memicu tingginya kekerasan terhadap kelompok rentan. Berbagai lembaga riset semisal SETARA Institute, Wahid Insititute dan CRCS UGM memberikan rapor merah untuk Jawa Barat, sebagai provinsi dengan tingkat intoleransi paling tinggi.

Kelompok masyarakat sipil dan pegiat HAM di Bandung pun gerah. Banyak yang bersepakat membentuk koalisi koalisi masyarakat untuk Bandung Lautan Damai. Namun, persiapan aksi koalisi ini berjalan dengan penuh ketegangan dan keterbatasan. Narasi toleransi agama belum jadi perhatian masyarakat kala itu. Di luar tempat rapat, kami bisa mendengar gerombolan melakukan pengerahan massa untuk memprotes penahanan bossnya. Dana kegiatan kami, bahkan sekedar untuk konsumsi sangat terbatas

**

Topik intoleransi dan persekusi tadi beberapa kali menjadi perbincangan rekan-rekan komunitas dimana saya bernaung. Melihat bahasan tersebut, saya mengasumsikan bahwa ekspresi keprihatinan adalah lampu hijau bagi saya untuk terlibat dalam koalisi masyarakat Bandung Lautan Damai tadi.

Saya intens mengikuti pertemuan untuk menyiapkan petisi yang akan dideklarasikan pada Hari Toleransi Internasional, 16 November. Isi petisinya antara lain, mendorong pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap pelaku intoleransi dan mencabut peraturan-peraturan yang diskriminatif.

Dengan antusiasme khas anak muda, saya kemudian mengirimkan petisi itu ke milis komunitas kami, memohon dukungan dan keikutsertaan. Tapi, petisi itu di-reject berkali-kali. Permintaan saya untuk bertemu pengurus dan menjelaskan, juga ditolak. Ada sejumlah kata-kata tajam. Saya dianggap memiliki ambisi pribadi yang membahayakan posisi kami di masyarakat. Singkatnya: Komunitas ini enggan terlibat dalam permasalahan sensitif seperti itu!

Omongan beliau-beliau menancap dalam di hati saya. Saya pulang ke rumah, menangis seperti anak kecil yang ditendang, dibuang dari rumah besar yang tadinya diharap memberikan dukungan. Buat saya ketika itu, lebih nyesek ketimbang masalah intoleransi di Bandung atau keterbatasan sumber daya kegiatan Bandung Lautan Damai.

Betul, tidak semua siap, belum semua berani, untuk memperjuangkan toleransi. Mungkin banyak yang suka bicara damai yang seremonial, namun belum tentu semua mau berjuang untuk damai yang esensial, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan serta membela yang rentan. Tapi saya tak menyangka, sikap itu ada di rumah saya. Atau mungkin saya yang terlalu ceroboh dan nekat?

***
Tahun ini, kawan-kawan yang sedang menyiapkan BALAD 2022 menemui saya untuk meminta sejumlah dokumen awal BALAD, bahan untuk membuat video tentang satu dekade gerakan ini. Saya menemukan kembali dan membaca ulang obrolan kami di milis tadi. Momen itu punya kesan bercampur rasa di hati saya.

Satu dekade ternyata sudah berlalu. Syukur atas rahmat-Nya, tiap tahun gerakan ini makin membesar dan melibatkan banyak komunitas warga Bandung, termasuk komunitas tempat saya bernaung tadi. Banyak memproduksi karya kreatif (menerbitkan buku, kartu remi, board game, dll), mengundang keterlibatan lebih banyak seniman (pemusik, pemain teater, pendongeng, pelukis, penulis, desainer, dll), lebih interseksional dengan irisan isu HAM (ekologi, feminisme, disabilitas, pendidikan kelompok rentan, dll).

Menengok ke belakang, saya bisa mengamini dengan tulus perkataan sesepuh komunitas kami dulu, saat saya memutuskan lebih aktif di gerakan lintas iman. Saya mungkin tidak bisa hidup di dalam kolam yang tenang. Lebih cocok berada di sungai dengan arus deras, menantang untuk bertumbuh. Untungnya saya memilih jalan itu.

Satu dekade ini ternyata sebuah perjalanan panjang, sekaligus tidak tenang, menuju damai. Selamat hari toleransi internasional, 16 November! Bandung Baik, Bandung Inklusif!

Editor : Risdo Simangunsong


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 177

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *