Perempuan selalu menderita untuk menjadi cantik
Tidakah asing dengan kata-kata tersebut? perempuan akan selalu menderita untuk memenuhi standar kecantikan. Tapi, Apakah standar kecantikan itu sendiri?
Standar kecantikan menitikberatkan perempuan sebagai objek yang harus berlomba-lomba memenuhi standar yang ada. Ini merupakan bentuk bagaimana liyan (the other) membatasi ekspresi perempuan yang dijejali oleh 1001 bagaimana-seharusnya-perempuan-bersikap.
Citra-citra inilah yang kemudian diinternalisasi, yang dengan tanpa ampun mengukur ketidaksempurnaan tubuh perempuan dan fashion tingkat tinggi (Tong, 2010:276).
Standar kecantikan sama dengan penjajahan atas ruang berekespresi perempuan, siapapun yang mendekati dengan standar itu, dialah pemenangnya. Sehingga perempuan akan disibukkan dengan tubuh dan wajahnya alih-alih dengan cara berpikirnya, hal ini sudah dibentuk sedemikian rupa dari zaman kolonial.
Hal ini mengingatkan saya pada satu pertanyaan yang saya ajukan kepada dosen saya: Apakah standar kecantikan bangsa ini merujuk pada perempuan-perempuan Belanda dengan hidung mancung dan berkulit putih bersih?
Jika kita lihat beberapa iklan atau bahkan artis yang memajangkan wajahnya pada layar besar, bisakah kita ukur berapa rasio menit antara perempuan nusantara — yang berkulit gelap, hidung pesek, intinya menurut mereka tidak menarik — dengan perempuan blasteran atau kaukasian yang berkulit putih bersih, berhidung mancung, rambutnya berwarna sedikit kepirang-pirangan kira-kira mana yang akan lebih lama menjajakan dirinya dalam iklan kosmetik atau baju?
Rasanya sebagai seseorang yang telah terbuka dengan gender dan berbagai macam warna pada perempuan — hal itu sangat menyakitkan, bagaimana media membentuk sebagaimana seorang perempuan harus bertutur kata, berperilaku, dan berpenampilan. Hal itu tentu bagi perempuan yang memiliki kacamata sama dengan saya, sangat menyakitkan. Tapi, bagaimana jika kita tidak dijajah dengan Bangsa Eropa?
Mungkin saja saat melihat orang dengan kulit hitam dan rambut keriting akan sangat menyakitkan bagi para perempuan dengan kulit putih mendekati sawo matang. Kosmetik akan berlomba-lomba menjadi kosmetik yang akan menggelapkan kulit dengan cepat, alih-alih brightening menjadi tanning.
Alih-alih rambut lurus dan lembut namun banyak sampo yang akan menampilkan iklan dengan rambut keriting, dan kita semua akan muak dengan standar kecantikan itu, sebagai seseorang yang memiliki kulit putih, berambut panjang lurus akan merasa bahwa dirinya tidak memenuhi standar kecantikan tersebut.
Standar kecantikan ini tidak melulu pada saat penjajahan — justru penjajahan menguatkannya, tapi pra-kolonial, standar kecantikan digambarkan dengan analogi-analogi dewi yang putih bersih — atau mungkin analogi ini sudah tercampur oleh kolonialisme?
Dalam beberapa negeri di belahan dunia lain, justru standar kecantikan merupakan reaksi trauma dari negara jajahannya sehingga sebisa mungkin tidak mirip dengan ‘cantik’ negeri yang menjajahnya, ada juga di Belanda justru dalam puisi-puisinya atau syair lagu malah Indonesia menjadi standar kecantikan mereka dan merekonstruksi kecantikan ndonesia.
Jadi, penjajahan memengaruhi standar kecantikan di Indonesia, penjajahan dalam bentuk eksplisit maupun inplisit seperti penjajahan artis Korea terhadap kosmetik-kosmetik yang sekarang sedang digandrungi yang masih dengan kulit putihnya — tidak akan pernah berubah. Siapa yang harus merubahnya? Kita.
Penulis : Venus Nareswari
Editor : Risdo Simangunsong
Sumber:
Jawaban-jawaban dari teman-teman yang aku tanyai: Ka Hana, Ka Novi, Ka Ica, Valerina, Virna, Dinda, Shofia, Dewi, dan Nashwa.