Seberapa sering kita mendengar dalam sambutan tokoh-tokoh negara yang mengangkat frasa bhinneka tunggal ika, kemajemukan, toleransi, persatuan, gotong royong dan slogan sejenisnya?
Jawabannya pasti sering, bahkan hampir dalam setiap sambutan tokoh negara pasti menyinggung soal keragaman identitas tadi. Dimulai dari tingkat presiden sampai RT/RW. Namun, apakah memang betul para tokoh negara tersebut memahami berbagai identitas masyarakatnya, atau tidak lebih hanya sebagai template pidato saja?.
Dalam konteks kehidupan umat beragama, khususnya masyarakat sipil di akar rumput, interaksi antar umat beragama sudah pasti tidak terhindarkan. Jika diuraikan, wujud interaksi tersebut sangat beragam, bisa dalam bentuk bakti sosial, ronda, musyawarah dan hal lainnya. Namun perlu menjadi perhatian, dalam masyarakat heterogen seperti di perkotaan, interaksi antar umat beragama mungkin bobotnya hanya di level permukaan.
Penelitian Setara Institut tahun 2021-2022, mengungkapkan bahwa peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia dilakukan oleh aktor negara melalui kebijakan publik yang diskriminatif dan aktor non-negara yang bersikap intoleran, seperti pembubaran peribadatan suatu kelompok agama, menolak pendirian rumah ibadah, penolakan ceramah dan penodaan agama.
Provinsi Jawa Barat menempati posisi pertama dengan jumlah kasus KBB terbanyak dalam kurun waktu 12 tahun terakhir sampai tahun 2021, meskipun pada tahun 2022 Jawa Barat turun peringkat menjadi nomor 2 di bawah Jawa Timur. Pelanggaran KBB terkait kebijakan publik yang diskriminatif dan penolakan pendirian rumah ibadah oleh aktor non-negara tetap menjadi permasalahan utama di Jawa Barat.
Konflik umat beragama di Indonesia menjadi hal yang harus mendapat perhatian dan keprihatinan lebih oleh pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat. Dalam upaya penyelesaian konflik umat beragama, terdapat sub-identitas yang harus dipahami oleh para pemangku kebijakan, seperti aliran/mazhab, denominasi, gereja, bahkan sampai aktivitas keagamaan. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap kebijakan dan solusi yang akan diambil oleh pemangku kebijakan.
Berdasarkan pengamatan, para pemangku kebijakan belum bersikap afirmatif dan cenderung menggeneralisasi identitas keagamaan. Hal tersebut tentunya dapat menimbulkan konflik baru.
Kedalaman identitas keagamaan perlu dipahami oleh para pemangku kebijakan sebagai sikap normatif. Hal tersebut dilakukan bukan demi formalitas belaka, namun harus menjadi arena empiris; keterlibatan empatik dan simpatik, penerimaan dan penghargaan, serta menjalin keterikatan secara emosional.
Memahami kedalaman identitas keagamaan tersebut dapat diwujudkan melalui ruang-ruang perjumpaan lintas iman yang dapat diinisiasi atau lewat pelibatan diri dalam ruang yang telah terjadi secara kultural di masyarakat. Pemahaman akan identitas keagamaan dapat memperkaya pengalaman bahkan sikap keterbukaan terhadap orang lain.
Hal serupa juga perlu untuk masyarakat sipil. Ruang-ruang perjumpaan yang telah terjadi secara kultural hendaknya dimanfaatkan sebagai dialog lintas iman yang ‘dialogis’, yang berorientasi pada upaya untuk kepentingan bersama.
Kehidupan sosial umat beragama tanpa mengenal identitas keagamaan lebih dalam, layaknya seperti gunung es. Yang terlihat hanya permukaannya saja, tapi jika dilihat kedalam, maka terdapat bahaya tersembunyi (laten) dan hal tersebut dapat menjadi bom waktu dan bisa meledak kapan saja.
Oleh karena itu, pentingnya pemahaman identitas keagamaan bukan sekedar basa-basi namun harus dipraktikkan. Sehingga, damai yang dicapai merupakan damai yang positif, bukan damai yang negatif yang kapan pun dapat menjadi bumerang.
Penulis : Yohanes Irmawandi
Editor : Risdo Simangunsong