Sudah 68 tahun lalu, Konferensi Asia Afrika berlangsung di Bandung. Selama waktu itu, kota Bandung yang menjadi saksi pertemuan negara-negara Asia dan Afrika telah banyak berubah. Begitu pula Indonesia dan negara lain yang terlibat dalam konferensi.
Nilai-nilai kemanusiaan dan perlawanan terhadap penjajahan dunia menjadi semangat negara-negara Asia-Afrika dalam konferensi yang berlangsung 18-24 April 1955 tersebut. Semangat ini menghasilkan gerakan dan kesepakatan kerjasama ekonomi dan kebudayaan, yang kemudian dikenal sebagai Dasa Sila Bandung.
Situasi politik internasional turut mempengaruhi terjadinya Konferensi Asia Afrika. Situasi tersebut antara lain adalah kolonialisme, kebijakan segregasi, berakhirnya perang dunia kedua, perang dingin serta bangkitnya nasionalisme di wilayah Asia dan Afrika.
Dampak paling terasa dalam konferensi ini adalah kemerdekaan dan kerjasama negara-negara Asia dan Afrika, partisipasi Asia dan Afrika dalam keanggotaan PBB, serta pendirian Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement/NAM).
Lantas apa relevansi Dasa Sila Bandung untuk masa kini? Dalam kegiatan Exposure dan Seminar Sehari dengan tema: Spirit of Life for All pada Selasa-Rabu (6-7/06/2023), yang diselenggarakan Universitas Kristen Maranatha dan CDC YBKS Surakarta, refleksi akan relevansi Dasa Sila Bandung diurai dari berbagai perspektif.
Politik internasional
Kita tahu, bagi Indonesia, Dasa Sila Bandung tetap memiliki relevansi pada kebijakan politik luar negeri G20 dan ASEAN, penanganan Covid-19, Konferensi Gerakan Non Blok, dan bukti sejarah adanya Museum Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Pada hubungan internasional Dasa Sila terimplementasikan dalam kerjasama Indonesia dengan negara-negara Afrika. Kelestarian Dasa Sila tersebut perlu dijaga tidak hanya oleh pemerintah, masyarakat sebagai bagian dari aktor diplomasi publik dalam people to people contact diperlukan. Melalui persatuan dan perdamaian antar sesama dari tiap budaya, agama dan adat istiadat.
Ketahan nasional
Spirit of life for all, tema yang termaktub dalam Dasa Sila Bandung juga penting dalam mewujudkan ketahanan nasional. Margaretha Hanita, tenaga profesional Bidang Geostrategi dan Ketahanan Nasional Lemhanas RI menjelaskan, gerakan geopolitik melalui Konferensi Asia Afrika telah terbukti dalam kerjasama dan solidaritas negara-negara terjajah untuk merdeka.
Dalam situasi geopolitik terkini, krisis dunia seperti perang Rusia-Ukraina serta konflik Amerika Serikat-Tiongkok mau tidak mau melibatkan Indonesia masuk dalam jalur pusaran konflik global. Utamanya Indonesia sebagai negara maritim mendapatkan tantangan perebutan kekuasaan sebagai jalur perhubungan internasional.
Kompetisi global dan krisis dunia juga menghasilkan beragam persoalan. Di antaranya krisis pangan dan energi, perang dagang, inflasi yang memicu instabilitas sosial, ancaman friksi dan konflik terbuka, krisis ekonomi global, instabilitas politik menjelang transisi kekuasaan, dan ancaman perang siber. Indonesia pun telah dan tengah mengalami pasang surut demokrasi serta mengalami transformasi digital yang cukup cepat. Di balik transformasi digital terdapat kerawanan terhadap hoaks, ujaran kebencian di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen.
Setidaknya melalui Dasa Sila Bandung, kita dapat menguatkan pilar ketahanan nasional yaitu konsolidasi demokrasi, ekonomi hijau, ekonomi biru, transformasi digital dan pembangunan Ibu Kota Nusantara. Diharapkan pembangunan kelima sektor ini dapat menjadi fondasi dalam peningkatan kapasitas geopolitik Indonesia.
Resolusi dan Potensi Konflik
Perspektif alternatif spirit of life for all dari Konferensi Asia Afrika perlu diwujudkan dalam orde internasional. Prof. Mohtar Mas’oed, Guru Besar UGM, mengatakan, secara ideal orde penyelesaian konflik memerlukan cara-cara damai pada segi penanganan “structural violence” dan “cultural violence” sebagai jalan menuju perdamaian berkelanjutan. Hal ini mensyarakatkan pengutamaan jaminan keamanan manusia, tidak semata-mata jaminan keamanan pemerintahan.
Pada konteks nasional, contohnya terlihat dalam persoalan kemandirian pangan yang berkelanjutan. Salah satu aspek yang ditinjau oleh Demson Tiopan adalah perubahan yang terdapat di dalam UU Cipta kerja yang berkaitan dengan kebijakan impor dan alih fungsi lahan pertanian yang dilonggarkan. Hal ini dinilai telah terjadi inkoherensi antara tujuan kedaulatan pangan dengan peraturan perundangan.
Peran Kampus dan Komunitas
Banyaknya persoalan dan solusi pasca Konferensi Asia Afrika menggambarkan dinamika perkembangan sosial dalam ranah internasional maupun nasional. Menjadikan keberlanjutan nilai-nilai Dasa Sila Bandung perlu dihayati bersama.
Pada ranah akademik menurut Yohanes Hermanto Sirait, lembaga pendidikan semacam kampus berperan penting dalam mewujudkan perdamaian. Kampus tidak hanya sebagai edu-factory, publish or perish, the academic star-complex, the demise of homo academicus yang menurut Peter Fleming sebagai sisi gelap akademik yang menjadikan kampus itu mati. Lembaga pendidikan dapat berperan sebagai agen-agen perdamaian yang dapat berdampak bagi masyarakat.
Sekretaris umum PGI, Pdt. Jacky Manuputy menyorot pula pentingnya kampus bekerja bersama komunitas perdamaian. Di Jawa Barat peran komunitas seperti JAKATARUB, yang merupakan omunitas orang muda mampu mewajahkan iman dalam aksi konkret, kreatif, dan impresif.
Perjumpaan antar agama perlu dijembatani melalui ruang ‘perjumpaan sehari-hari’ yang dipintal pada elemen keselarasan budaya, serta tantangan atau musuh bersama. Ini yang merupakan pengembangan jejaring persahabatan sebagai modal sosial untuk memperkuat rajutan ‘Tikar Sosial,’ selain kearifan lokal yang sudah tersedia.
Menjelang tujuh dekade Konferensi Asia Afrika persoalan sosial dan geopolitik seolah berulang. Inilah yang menjadikan Dasa Sila Bandung masih relevan sampai saat ini. Kebutuhan kerjasama serupa yang dapat dimulai dari kalangan muda.
Hal ini menegaskan tugas kita belum tuntas. Panggilan untuk aksi adalah suatu keharusan bukan lagi pilihan. Sudah sewajarnya Kota Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika berlangsung, mewujudkan perdamaian bagi seluruh kehidupan.
Penulis : M.Daffa
Editor : Risdo Simangunsong