Di tengah perdebatan dan ketegangan yang seringkali mengiringi relasi antar agama, ada cerita-cerita yang jarang terdengar tentang persahabatan, penerimaan dan saling pengertian. Asosiasi Teolog Indonesia (ATI) memberi contoh nyata tentang harmoni perjumpaan dalam program Christianity Studies for Muslim Scholars (CSMS) yang diadakan pada tanggal 1-6 Februari lalu.
Di CSMS mahasiswa muslim diajak untuk belajar dan mengenal teologi Kristen langsung dari orang kristennya. Bertempat di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Satya Bhakti Malang, mahasiswa muslim dari berbagai kampus di Indonesia seperti UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Alauddin Makassar, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Walisongo Semarang, UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tinggal selama enam hari bersama mahasiswa Kristen di asrama mahasiswa yang ada di komplek STT Satya Bhakti.
Pengalaman menarik yang seringkali dianggap aneh dan nyeleneh ini menyiratkan pesan tentang pentingnya dialog antar agama yang tidak terbatas pada analisis teoritis dan observasi jarak jauh. Saya merasa diberikan kesempatan yang langka oleh ATI untuk belajar secara langsung dan intensif serta merefleksikan individu kedua belah pihak yang berbeda agama.
Kampus Teologi Kristen yang sering dianggap beberapa orang sebagai tempat eksklusif bagi mahasiswa Kristen memperdalam pemahaman mereka tentang iman dan agama Kristen. Nyatanya tidak demikian saat saya menginjakan kaki di STT Satya Bhakti. Hal tersebut memunculkan pertanyaan menarik tentang integrasi, toleransi dan kesempatan untuk memahami satu sama lain.
Belajar teologi Kristen secara langsung menurut saya bukanlah tanpa tantangan, salah satu tantangan yang dihadapi adalah perbedaan cara pandang dan cerita dengan apa yang selama ini saya dengar dari orang-orang. Beragamnya denominasi Kristen membuat apa yang dijelaskan teman Kristen saya sebelum mengikuti CSMS tidaklah dapat mewakili secara menyeluruh perihal ajaran kekristenan, seperti ritual keagamaan, doktrin, dan lain lain.
Melalui diskusi dan dialog terbuka antara para pemateri, mahasiswa STT Satya Bhakti yang menjadi teman sekamar selama mengikuti program CSMS dan kami mahasiswa muslim membuat berbagai persepsi, stereotip dan tantangan lainnya berhasil diatasi. Memperdalam pemahaman tentang keyakinan dan praktik satu sama lain menciptakan kesempatan untuk kami menerima satu sama lain tanpa stigma serta meningkatkan praktik toleransi bahkan dalam ranah privat, seperti yang saya alami ketika ingin melaksanakan sholat isya di kamar asrama.
Teman-teman sekamar saya yang mana mereka adalah mahasiswa di kampus tersebut dan tentu beragama Kristen, dengan hangat dan penuh pengertian meminjamkan ruang kamarnya untuk tempat saya sholat, bahkan mereka berinisiatif untuk membersihkan karpet serta mencarikan saya alas yang bersih sebagai sajadah.
Selama enam hari kami tidak hanya belajar teologi Kristen dalam ruangan di kampus Satya Bhakti, ATI mengajak kami untuk berkeliling dan belajar langsung dari berbagai denominasi kekristenan. Dengan berkunjung ke Keuskupan Malang serta berbagai gereja di Malang dan Surabaya. Salah satunya kami berkesempatan untuk mengunjungi GPIB Immanuel Surabaya yang merupakan gereja tertua di kota ini. Di sana kami melihat dan berdiskusi tentang sejarah berdiri serta perjalanan GPIB Immanuel selama lebih dari satu abad itu.
Pengalaman dan perjumpaan tersebut membuat saya berpikir bahwa Indonesia tidaklah bisa lepas dari keberagaman agama, salah satunya adalah Kristen. Pengalaman ini juga membuka pintu untuk memperluas jaringan sosial dan membangun persahabatan lintas agama yang lebih luas. Hubungan yang terjalin dalam asrama kampus pun tidak hanya memperkuat harmoni antar agama, tetapi juga memberikan dukungan emosional bagi kami mahasiswa muslim di tengah lingkungan baru yang berbeda agama.
Di hari terakhir program CSMS, kami berkesempatan untuk ikut kuliah di ruang kelas bersama mahasiswa STT Satya Bhakti. saya yang kebetulan kebagian mata kuliah Oikumene, yang merupakan mata kuliah semester VI. Disini kami belajar gerakan dalam upaya menyatukan gereja-gereja. Dosen yang mengajar, menerima kami sangat baik, pun begitu dengan pertanyaan-pertanyaan kami yang mungkin sangat mendasar, seperti sebab terbaginya denominasi kekristenan dan sejarah gereja.
Perjumpaan lintas iman antara kami mahasiswa muslim dan rekan-rekan ATI serta civitas akademika STT Satya Bhakti dalam konteks belajar dan hidup Bersama di kampus teologi Kristen adalah sebuah kesempatan memperkaya pengalaman akademis, spiritual dan sosial. Dengan sikap terbuka dan penghormatan terhadap perbedaan, kolaborasi antaragama ini tidak hanya memperdalam pemahaman kami akan teologi Kristen, tetapi juga tentang teologi islam bagi mahasiswa STT Satyabhakti yang berdiskusi bersama kami di waktu-waktu senggang. Pun memperkuat hubungan antar sesama manusia dalam semangat meningkatkan toleransi dan Kerjasama.
Tulisan ini saya tutup dengan mengutip spirit dari JAKATARUB, yakni “dialog antar iman berawal dari dialog antar teman.” Sebelum saya paham dan mengerti perihal kekristenan, terlebih dahulu saya mengerti tentang arti perjumpaan da perkenalan yang hangat dengan kawan-kawan Kristen di STT Satya Bhakti.
Penulis : Kaana Mahatma
Editor : Risdo Simangunsong