Rumah ibadah dimaknai lebih dari sekadar tempat untuk beribadah. Tempat terjadinya komunikasi dan ritual keagamaan. Di Indonesia kita mengenal berbagai nama rumah ibadah seperti masjid, mushola, langgar, pura, gereja, kapel, klenteng, vihara, kong miao, tao kwan, cetya, balai pasantian, balai basarah, dll, mengingat sangat beragam nya agama di negeri kita.
Rumah ibadah sudah seharusnya inklusi, sebagai upaya untuk mengakomodasi kebutuhan setiap umatnya. Beragamnya kebutuhan tadi seharusnya mulai diperhatikan oleh para pengurus yang mengurusi terkait fasilitas dalam rumah ibadah.
Inklusi bukan sekedar menerima setiap orang dengan keyakinan yang berbeda untuk berdialog, lebih luas dari itu inklusivitas dalam rumah ibadah berarti dapat mengakomodasi beragamnya setiap kebutuhan manusia. Mulai dari kebutuhan keamanan, fasilitas atau infrastruktur, bahkan kebutuhan konsumtif yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia.
Kebutuhan fasilitas dan infrastruktur ini jarang sekali diperhatikan dalam proses pembangunan rumah ibadah. Fasilitas untuk ragam penyandang disabilitas misalnya, terhitung sangat sedikit diperhatikan, meski sudah mulai ada beberapa yang mengusahakan.
Dalam hadits, Nabi Muhammad SAW diceritakan pernah kedatangan seorang laki-laki tunanetra yang meminta keringanan untuk tidak pergi ke masjid karena tidak ada yang menuntunnya. Namun ketika orang itu berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka penuhilah panggilan azan tersebut.’ (HR. Muslim, no. 503)
Dari hadits di atas, Nabi Muhammad SAW mengingatkan kepada kita bahwa beribadah di rumah ibadah (masjid) dan bersama semua umat (berjamaah) merupakan suatu keutamaan sekaligus menyiratkan bahwa rumah ibadah dalam hal ini masjid, perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan semua anggotanya, termasuk penyandang disabilitas.
Tentu, penyandang disabilitas, juga kelompok lain sangat beragam kebutuhannya. Sebagai upaya untuk mewujudkan rumah ibadah yang inklusi, rumah ibadah untuk semua orang, maka diperlukan untuk mengenali ragam-ragam disabilitas, serta kebutuhan lain apa saja yang seharusnya diakomodasi.
Penyediaan ramp, juru bahasa isyarat untuk ceramah, ruang yang memadai untuk berganti pakaian atau ibu menyusui, ruang yang bebas asap rokok, sirkulasi udara yang aman bagi beberapa hal terkait kesehatan mental, konsumsi yang memperhatikan kebutuhan jemaat, tangga dan penyangga yang ramah anak, tempat yang nyaman buat para musafir, dll – bisa didaftarkan lebih jauh untuk mewujudkan rumah ibadah yang inklusif.
Sesuai dengan namanya, ia benar-benar adalah rumah, bukan sekedar tempat, yang menampung semua umat.