Lagi-lagi, Masih Ada Pelanggaran Kebebasan Beragama di Jawa Barat

Share On Your Social Media

Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Dalam hitungan akhir 2023, provinsi ini memiliki 49,9 Juta penduduk atau sekitar 17,78 persen dari total populasi Indonesia. Jumlah yang besar dan beragam ini menjadi tantangan serius dalam menjaga kebhinekaan serta memerlukan komitmen serius penyelenggara negara untuk memenuhi hak warganya, salah satunya dalam kebebasan beragama.

Dalam laporan kebebasan beragama SETARA Institute tahun 2023, Jawa Barat kembali menjadi provinsi yang membukukan pelanggaran tertinggi, dengan 47 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. 

Merefleksikan kembali apa yang sudah dan akan dilakukan merupakan pilihan yang harus dilakukan oleh jajaran pemerintah Jawa Barat, bukan malah membantah atau membuat riset tandingan dan bikin acara ‘seolah-olah menjunjung HAM’ demi menunjukan bahwa daerahnya baik-baik saja.

Gejolak itu terbukti ada. Belakangan santer berita, tertanggal 1 Juli 2024 Paguyuban Pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (PPNKRI) mengirimi Pj. Walikota Bandung seruan menolak perayaan Asyura. Padahal pemerintah tentu punya kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan di kota bandung dengan memberikan menjamin perlindungan kepada kelompok keagamaan yang memperingati hari keagamaan tersebut. 

Selang sehari, 2 Juli 2024, pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat kembali terjadi. Penyegelan masjid Ahmadiyah di Nyalindung, dilakukan Satpol-PP didampingi Tim PAKEM dan Forkopimcam Cilawu. Tampak belum ada komitmen serius untuk berbenah dari para penyelenggara negara untuk menjamin kebebasan warganya

Kita tahu, kasusnya bukan hanya penyegelan masjid Ahmadiyah dan penolakan kegiatan Asyura. Sejumlah media, seperti Bandung Bergerak berkali-kali mengangkat liputan terkait dengan keberadaan gereja di Kabupaten Bandung yang tidak proporsional dengan jumlah penganutnya, sementara izin pendirian rumah ibadah tidak pernah diterbitkan pemerintah. 

Ini terjadi juga di wilayah lain bersamaan dengan kasus menahun seperti persekusi terhadap kelompok agama tertentu, pembatasan hak, diskriminasi di ruang publik, pelarangan kegiatan keagamaan, dan banyak lagi kasus lainnya.

Moderasi dan toleransi sebenarnya telah lama menjadi ciri warga Jawa Barat. Ini hendaknya dipahami bukan sebagai gaya bunglon yang selalu cari selamat, menghindar masalah. Justru, moderasi yang dikembangkan adalah sebuah sikap jalan tengah yang tancapkan di atas pijakan kokoh: keberpihakan. 

Keberpihakan disini tidak atas nama kepentingan sesaat, namun di atas kepentingan kebenaran, kejujuran, dan nilai-nilai kebaikan bersama lainnya. Prinsip henteu cueut ka nu hideung ulah ponteng ka nu koneng, tidak membedakan perlakuan karena pilih kasih atau gentar, semata-mata berbuat adil karena kemanusiaan.


Share On Your Social Media

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *