Apakah masyarakat Sunda mempunyai wacana serupa moderasi beragama, yang lahir dari rahim budayanya sendiri?
Bisa jadi ada! Selisiknya dapat dimulai dari petuah sesepuh yang tidak pernah bosan untuk mengingatkan anak cucunya agar selalu berbaik budi. Satu nasehat pentingnya yakni hidup harus siger tengah. Sebuah sikap yang berimbang dan adil. Ini bukan netral yang tak peduli apalagi tidak memegang prinsip. Utamanya, segala bentuk sikap yang berlebih-lebihan harus dihindari.
Siger tengah secara literal dapat berarti mahkota di tengah. Kita bisa membayangkannya pada riasan pengantin perempuan Sunda. Ada lempeng logam bermanik-manik dikenakan di kepala. Siger tersebut berdiri kokoh membawa keanggunan sekaligus wibawa.
Di balik estetikanya, secara filosofis siger tengah menjadi inti etika Sunda. Simbolisme akan adanya jalan di antara ketegangan oposisi biner yang saling berlawanan. Lewatnya, perbedaan-perbedaan yang seringkali dipandang membuntukan, justru melahirkan harmoni bahkan keindahan.
Cermatilah cara leluhur Sunda mengkreasi teknologi tradisionalnya. Melalui rupa boboko (bakul), mulutnya yang berbidang lingkaran dapat bertemu dengan kakinya yang berbidang persegi. Begitu juga runcingnya congo kujang dapat bertemu dengan bagian tadah yang tumpul. Melalui siger tengah ini tidak ada pelenyapan terhadap yang lingkaran atau yang kotak, tidak memusnahkan yang runcing atau yang tumpul. Semua berimbang tetap menjaga kualitas dirinya masing-masing, berpegang pada identitas yang berbeda, namun tetap terhubung dalam keselarasan.
Dari sini, para bijak lokal mengenal konsep yang bernama tritangtu. Kebudayaan Sunda selalu memandang entitas kehidupan dalam tiga kategori yang secara hakikat adalah tunggal. Ada silih asah, asih, asuh; ucap, tekad, lampah; buana luhur, panca tengah, larang; dan seterusnya.
Meminjam pola ini, kita dapat membaca agama di Indonesia sebagai Sang Siger Tengah. Di dalam Indonesia ada agama dan nasionalisme, agama satu dengan agama lainnya, agama dan tradisi, agama dan aneka rupa identitas lainnya.
Sayangnya belakangan tumbuh sentimen yang memandang realitas ini sebagai kontaminasi terhadap ajaran agama. Maka dari situ komitmen kebangsaan, anti-kekerasan, toleransi, dan kearifan lokal mendapat perhatian khusus untuk kembali dipercakapkan. Melalui kebijakan moderasi beragama, keempat elemen tersebut menjadi indikator-indikator ukuran yang utama. Makin moderat, makin selaras.
Di tengah pengarusutamaan moderasi beragama yang kian populer, kiranya menggali dan merenungi hal ini diberi ruang istimewa. Apalagi jika kita melihat peristiwa-peristiwa kekinian yang terjadi di bumi Pasundan, tanah yang melahirkan kebijaksanaan luhur ini. Masih relevankah siger tengah dengan penyegelan rumah ibadah, perundungan pelajar dengan keyakinan yang berbeda, penolakan peringatan keagamaan?
Manusia-manusia yang makan dari tanah Sunda seharusnya hidup penuh keugaharian. Seperti para leluhurnya, memancarkan amanat Sanghyang Siksa Kandang ng Karesian: “Hendaknya kita tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar penghilang haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa”.
Tidak berlebih-lebihan, termasuk penting memperhatikan cara beragama kita. Melalui refleksi ini, kita dapat membayangkan bahwa keberagamaan kita laksana mahkota. Saat penggunaanya, agar tidak terjatuh maka harus diletakkan di tengah-tengah bagian atas kepala. Leluhur menyebutnya dengan siger tengah.
Penulis : Arfi Pandu Dinata
Editor : Risdo Simangunsong