Jalan Lain Mendirikan Rumah Ibadah

Share On Your Social Media

Di kota tua – demikian makna harfiah “Dayeuhkolot” dalam Bahasa Sunda – tercatat perjuangan panjang dan penuh lika-liku untuk mendirikan rumah ibadah. Gereja Kristen Pasundan (GKP), yang ada di wilayah Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, lama bergulat dengan masalah perizinan rumah ibadah dan belum juga menemukan titik terang. Tidak hanya kesulitan dalam perizinan, jemaat ini juga beberapa kali mengalami penyerangan. 

Ini adalah cerita tentang keteguhan dan pencarian solusi di tengah tantangan yang tak kunjung usai. Bertahun-tahun berganti pendeta dan kepengurusan, upaya memohonkan izin mendirikan bangunan (IMB) gereja berkali-kali mentok. Terakhir di 2023, pendeta jemaat saat ini, Cliff Edward Kasakeyan, kembali mengajukan permohonan komunikasi perizinan dengan pemerintah setempat.

“Selain berusaha mengikuti mekanisme perizinan, kami juga ingin memastikan bahwa semua prosedur sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pendirian Rumah Ibadah,” ujar Pdt. Cliff. 

Peraturan yang dikenal dengan PBM Dua Menteri 2006 ini mengatur tata cara pendirian rumah ibadah dengan melibatkan masyarakat sekitar. Cliff menyampaikan rencana untuk kembali mengumpulkan tanda tangan warga sebagai bagian dari persyaratan masih terganjal, karena respon Pengurus RT/RW masih belum jelas.

Isu ini bukanlah hal baru. Permasalahan mengenai perizinan rumah ibadah di Kabupaten Bandung merupakan hal yang pelik. Data BPS Jawa Barat 2020 mencatat terdapat 180.865 umat Kristen Protestan di Kabupaten Bandung, sementara jumlah gereja hanya 12 unit. 

Ketimpangan ini mencerminkan masalah mendalam yang dihadapi komunitas Kristen di Kabupaten Bandung. Sekaligus juga mempertanyakan komitmen pemerintah daerah untuk melindungi, menghormati dan memenuhi kebutuhan warga dalam beribadah.

RSD: Dialog Akar Rumput

Satu dari banyak upaya advokasi yang pernah dilakukan terkait konflik berlatar agama dilakukan Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, sebuah organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu radikalisme dan terorisme. Lembaga ini memperkenalkan dan melatihkan metode Reflective Structured Dialogue (RSD) pada Desember 2022. Pelatihan ini ditujukan bagi aktivis dari berbagai daerah, termasuk Bandung yang diwakili aktivis JAKATARUB, GKP, IJABI, Fatayat NU Jabar dan WHDI.

Setelah pelatihan, sejak awal 2024 fasilitator RSD Bandung mulai merancang inisiatif dialog, salah satunya terkait konflik GKP Dayeuhkolot. Sebagai tahapan pra-dialog, dilakukan analisis situasi geografis, budaya, kronologi konflik dan pemetaan aktor. Dalam proses pra-dialog, fasilitator melakukan home visit dan berdialog dengan para aktor yang sudah dipetakan sebelumnya.

Obertina Johanis, pendeta yang menjadi saksi kunci dalam penyerangan terhadap GKP Dayeuhkolot tahun 2007, mengungkapkan kelembagaan gereja ini sudah ada sejak tahun 1954 dan memiliki gedung ibadah di dalam komplek militer Kesatuan Batalyon Infanteri (Yonif) Para Raider 330 bersama Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius. Ketika kelembagaan militer Kesatuan Yonif 330 direlokasi ke Cicalengka, gereja-gereja tersebut diminta untuk keluar.

“Awal berdiri tahun 1954, dulunya di dalam asrama tentara. Selama 1954-1995, ada dua gereja di dalam komplek itu. Ketika kesatuan militer pindah, gereja diminta untuk keluar,” jelas Obertina.

Setelah diminta keluar dari komplek militer, Gereja Katolik membeli tanah di sekitar komplek, sedangkan GKP membeli rumah tinggal tak jauh dari komplek militer lalu direnovasi menjadi gereja. Kedua gereja tersebut terletak agak jauh dari pemukiman warga.

Hubungan dengan masyarakat sekitar awalnya baik, namun masalah muncul pada tahun 2005-2007 ketika organisasi masyarakat yang menyebut diri Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) melakukan penyerangan terhadap gereja.

Penyerangan tersebut berdampak besar pada psikologis jemaat GKP Dayeuhkolot. Obertina mengungkapkan, “Alasan mereka tidak setuju karena mengganggu masyarakat. Sejak 1995, kami urus IMB tidak dikasih sampai saat ini. Banyak yang trauma dan ketakutan. Bahkan ada ibu-ibu yang trauma melihat pakaian cingkrang karena penyerangan.”

Gereja tetap berusaha membangun hubungan baik dengan masyarakat melalui berbagai program sosial. Mereka memiliki perahu yang disimpan di halaman gereja untuk digunakan dalam evakuasi saat banjir dan sering memberikan bantuan sembako kepada masyarakat sekitar.

Namun, D, anggota BPD Desa Citeureup, mengungkapkan bahwa selama menjabat, dirinya belum pernah menerima laporan atau tembusan terkait bantuan kebencanaan dari GKP Dayeuhkolot.

“Komunikasi dan tembusan kepada pemerintah desa sangat diperlukan. Ini penting untuk mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa GKP Dayeuhkolot turut memberikan bantuan kebencanaan,” ujarnya.

Perbedaan Persepsi atas PBM Dua Menteri

Hasil dialog RSD menunjukkan adanya perbedaan persepsi mengenai PBM Dua Menteri 2006. Beberapa tokoh agama dan masyarakat berpendapat gereja harus dibangun dari nol, bukan hasil renovasi rumah tinggal.

Dalam satu sesi dialog, seorang pelaku demonstrasi dan penyerangan GKP Dayeuhkolot tahun 2007, S, berbagi pendapatnya mengenai hak beribadah.

“Di NTT, umat Islam juga mendapatkan intimidasi dari umat Kristen saat mendirikan masjid, karena umat Kristen adalah mayoritas di sana. ujarnya. 

Tokoh ini menyatakan posisi mayoritas-minoritas agama harus dianggap wajar di Indonesia dan toleransi itu ada jika minoritas tahu diri dan tahu peraturan, tidak sewenang-wenang. Ia menganggap hal itu juga berlaku dalam mendirikan bangunan ibadah di desa Citeureup.

Sementara itu, O perangkat desa Citeureup menjelaskan bahwa ketentuan perizinan gereja mencakup tanda tangan sebanyak sembilan puluh orang pengguna gereja dan enam puluh tanda tangan dari warga sekitar. 

“Tanda tangan 90 orang pengguna gereja harus berasal dari jemaat yang tinggal di sekitar lokasi gereja, bukan dari daerah lain.” Begitu Menurut O yang mengaku paham hal tersebut dari kegiatan Sosialisasi PBM Dua Menteri oleh FKUB Kabupaten Bandung. 

Ungkapan tersebut mengindikasikan disinformasi terkait implementasi PBM Dua Menteri. Aturan sebenarnya tidak dibatasi oleh zonasi rumah tinggal umat, karena indikasinya adalah pengguna rumah ibadah. 

Masyarakat Adalah Pemilik Dialog

Kebuntuan komunikasi antara GKP Dayeuhkolot dan perangkat Desa Citeureup perlahan terurai. Fasilitator RSD Bandung berhasil menginisiasi ruang dialog reflektif dengan aparat desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat baik itu kategori kontra, pro dan abu-abu terhadap kasus pendirian rumah ibadah.

Dari mulai proses pra-dialog hingga pasca-dialog, RSD berhasil dilakukan tanpa adanya indikasi kekerasan. Hal ini patut diapresiasi karena itu artinya masyarakat siap menyelesaikan masalah dengan damai. Sejatinya, konflik memang tidak akan pernah terhindarkan. Namun pengelolaan yang tepat, konflik bisa terhindar dari kekerasan. Salah satunya dengan membuat inisiasi dialog yang bermakna. 

Dialog tidak selalu harus berorientasi kepada kesepakatan. Bisa saja hanya sekadar upaya saling mendengar dan memahami perspektif orang lain. Dalam konteks konflik GKP Dayeuhkolot, fasilitator mencoba menghadirkan “korban” dan “pelaku” dalam satu forum, tujuannya saling mendengar.

Ruang dialog sudah dibuka, selanjutnya, baik itu GKP Dayeuhkolot atau pemerintah desa, maupun para aktor masyarakat harus mengisi ruang perjumpaan tersebut agar tidak tertutup kembali sebab merekalah sejatinya pemilik dialog.

Meskipun kepentingan GKP Dayeuhkolot untuk mendapatkan izin masih belum terealisasi, indikasi kebutuhan pengakuan dan dukungan untuk mengatasi rasa terisolasi serta integrasi sosial bagi GKP Dayeuhkolot sudah terbuka. Ini adalah jalan lain yang juga bisa ditempuh pada permasalahan serupa terkait pendirian rumah ibadah.

Editor : Risdo Simangunsong

*Artikel ini memperoleh dukungan dari Fatayat NU Jawa Barat & INFID dalam rangka konsorsium INKLUSI


Share On Your Social Media
Yohanes Irmawandi
Yohanes Irmawandi
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *