Ada pembicaraan unik dalam sebuah diskusi antar perempuan muslim terkait kasus penolakan salah satu rumah ibadah di wilayah Kabupaten Bandung.
D, bertanya kepada T terkait bagaimana perasaannya jika T berada di mayoritas Kristen dan hendak melakukan pendirian rumah ibadah agama Islam, namun ditolak oleh mayoritas Kristen. T menjawab dengan jujur, “Saya sedih karena tidak bebas, tapi saya juga harus sadar diri dengan meminta izin kepada pengurus desa dan masyarakat. Jadi, menurut saya, komunikasi sangat penting.”
Ibu A diminta pendapatnya mengenai pendirian gereja di wilayah mereka. Ia menjelaskan, “Yang penting punya izin, karena itu rumah tinggal yang dijadikan gereja. Saya kira, terkait masalah perizinan itu urusan pemerintah saja.”
Diskusi berlanjut dengan S yang bertanya kepada ibu N, sebagai seorang Muslim, apakah saya harus menerima bantuan dari orang Kristen. N menjawab, “Menurut saya tidak ada salahnya kita terima, karena itu niat baik, saling menolong. Kita terima saja karena itu rezeki.”
Ibu lainnya, K, kemudian menambahkan pertanyaan tentang bantuan berupa daging dari non-Muslim kepada N. N berbagi pengalamannya, “Saya tanyakan saja, kalau misalnya itu tidak halal pasti mereka juga memberitahukan kalau itu tidak halal, dan saya yakin pasti mereka juga memberikan makanan yang halal kepada saya. Karena mereka peduli dengan saya.”
Terakhir, S, menanyakan pendapat tentang menerima alat sholat dari non-Muslim kepada N, dan N menjawab, “Menurut saya ya terima saja, Bu, karena itu merupakan kebaikan.”
Dari percakapan dalam sebuah diskusi tersebut, dapat dilihat bahwa dialog lintas iman merupakan sebuah hal yang asing dipraktikkan di dalam sebuah wilayah masyarakat.. Padahal, budaya lisan Nusantara pada umumnya adalah budaya dialog, budaya lisan, budaya ngobrol. Namun, dialog dalam konteks lintas iman sepertinya menjadi hal yang tabu pada masyarakat saat ini.
Dialog lintas iman pada level akar rumput harusnya sudah menjadi dialog kultural. Namun, untuk memulainya saja, seakan terdapat batu rintang yang menghalangi. Maka, sejujurnya dapat dikatakan, bahwa inisiasi-inisiasi dialog lintas iman, bukan untuk merubah budaya masyarakat, namun mengembalikan budaya dialog kepada masyarakat.