Konstruksi Pendidikan dan Masalahnya terhadap Kelompok Rentan

Share On Your Social Media

Tindakan intoleransi kadang kala didasarkan atas ketidaktahuan masyarakat terhadap kelompok agama rentan. Tentu banyak faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Selain faktor kebijakan dari pemerintah, ternyata konstruksi pendidikan juga turut andil dalam proses terjadinya tindakan-tindakan diskriminasi. Pertanyaanya adalah sejauh mana konstruksi pendidikan di indonesia menjadi ruang untuk saling mengenal dan memahami? 

Ketika melihat realitas di banyak sekolah di Indonesia, kerap kali siswa-siswi menjadi korban diskriminasi atas nama agama/kepercayaan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk saling mengenal perbedaan dan keragaman, kadang kala menjadi tempat untuk menyemai ketidaksukaan terhadap mereka yang berbeda. Ironisnya, banyak tindakan diskriminasi ini dilakukan oleh para tenaga pendidik. Klaim yang mereka sampaikan adalah mereka tidak mengetahui terkait kelompok rentan, seperti penghayat kepercayaan.

Ketika pelajaran sejarah di sekolah, penggambaran terkait agama leluhur misalnya seringkali disebutkan dengan istilah animisme dan dinamisme. Sebuah konsep yang sangat peyoratif untuk menggambarkan tentang praktik-praktik lokal. Praktik ini kemudian digunakan untuk membedakan yang ber-Tuhan dan tidak. Praktik-praktik lokal dianggap tidak sama dengan agama yang “diakui.”

Konstruksi pendidikan yang seperti ini sangat berdampak kepada pola pikir dan perspektif masyarakat. Karena ketika siswa-siswi ini lulus dari sekolah kemudian di dalam masyarakat yang beragam. dan melihat praktik-praktik lokal seperti, membakar kemenyan, sesajen, ngaruat lembur (ritual bersyukur kepada alam), dll. mereka langsung beranggapan bahwa praktik-praktik seperti ini adalah animisme dan dinamisme karena pemahaman ini diajarkan secara sistematis dan struktural di sekolah.

Tidak hanya bagi para penghayat. Contoh lain, Yos Sulaiman, teolog dan sejarawan Kristen, dalam pertemuan tahunan Asosiasi Teolog Indonesia (ATI), awal Agustus lalu menyampaikan bagaimana sejarah kekristenan tidak dihadirkan dengan adil dalam pelajaran sekolah di Indonesia. Baik secara porsi maupun penjelasannya. Wajar jika banyak siswa-siswi Muslim yang begitu asing dengan hal yang paling umum sekalipun terkait kekristenan.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita harus belajar memahami dan mengenal terkait kelompok agama dan kepercayaan yang sangat beragam ini. Tidak langsung memberikan statement buruk terhadap keyakinan seseorang. 

Jalan ini bisa ditempuh dengan dialog. kemudian untuk teman-teman kelompok rentan kita harus berani untuk menyuarakan kebenaran. Banyak hal yang bisa kita lakukan, berjejaring dengan kelompok agama/kepercayaan lain, komunitas yang bergerak di isu kemanusiaan dan hak asasi manusia, dan bisa menyuarakan lewat tulisan, konten, dengan kreatif.

Penulis : Indra Anggara

Editor : Risdo Simangunsong


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 166

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *