Arti Kemerdekaan Bagi Para Puan

Share On Your Social Media

Kemerdekaan sering diartikan sebagai bebas dari penjajahan, penindasan atau pengaruh pihak lain. Masih banyak berita yang memuat perempuan mengenai kekerasan, diskriminasi, pendidikan, ekonomi hingga kebebasan dalam berbusana pun masih diatur di ruang publik. Bagaimana bentuk kemerdekaan dalam konteks perempuan saat ini? Apakah para puan sudah mendapatkan hak dan kebebasan mereka dalam menentukan nasibnya sendiri di berbagai bidangnya? 

Salah satu bahasan soal kemerdekaan perempuan adalah terkait busana. Masih hangat Agustus lalu, kasus ‘pelarangan’ penggunaan jilbab bagi Paskibraka. Sama seperti kasus sebaliknya yang sering kita dengar, ‘pemaksaan’ jilbab di lingkungan pendidikan dan pemerintahan. Tubuh perempuan terus dikontrol dengan aturan yang berlawanan dengan prinsip dan keyakinan mereka. Memaksa perempuan untuk melepas jilbab harus ditolak, begitupun memaksa perempuan untuk memakai jilbab.

Tidak hanya dalam kasus terkekangnya perempuan dalam cara berbusana, belakangan kita juga mendengar kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh seorang atlet perempuan. Dia adalah salah satu dari sekian banyak perempuan korban KDRT di Indonesia yang memberanikan diri menyampaikannya ke ruang publik.

Kita bisa berbicara untuk banyak kasus lain termasuk terkait representasi perempuan Indonesia dalam politik. Saat ini masih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sedikit sekali yang mengusung calon perempuan. Padahal, banyak politisi perempuan Indonesia yang sebenarnya mampu bersaing dengan para politisi laki-laki. 

Akar dari berbagai ketimpangan ini biasanya berkaitan dengan struktur sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak setara. Yang terutama terkait budaya patriarki dan ketidaksetaraan gender. Sistem patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan sering kali menjadi penyebab ketidaksetaraan gender. Ini mengakibatkan perempuan kurang memiliki akses terhadap kesempatan pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Stereotip dan peran gender tradisional yang melekat pada perempuan dapat membatasi mereka dalam banyak aspek kehidupan, seperti karier dan peran dalam masyarakat.

Imbas dari budaya dan stereotip ini di banyak tempat membuat perempuan lebih sedikit mendapatkan akses terhadap pendidikan yang berkualitas dan layanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi. Ini memperburuk ketimpangan dan mempersulit perempuan untuk mencapai kemandirian.

Beberapa negara juga masih memiliki hukum dan kebijakan yang secara eksplisit atau implisit mendiskriminasi perempuan, sehingga mereka sulit mendapatkan keadilan atau hak yang sama dengan laki-laki. Kemiskinan lebih sering dialami oleh perempuan, terutama di negara berkembang, karena akses terhadap sumber daya ekonomi yang terbatas. Ini juga terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesempatan kerja.

Lebih berat lagi, ada praktik-praktik budaya yang merugikan perempuan, seperti pernikahan anak, mutilasi genital perempuan, dan pembatasan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik.

Semua faktor ini saling terkait dan memperparah ketidakadilan serta masalah yang dialami oleh perempuan di seluruh dunia. Untuk mengatasi masalah-masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan lintas sektor, termasuk reformasi hukum, pemberdayaan ekonomi, dan perubahan dalam norma sosial dan budaya.

Editor : Risdo Simangunsong


Share On Your Social Media
Nita Kusuma
Nita Kusuma
Articles: 3

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *