Menjaga Tradisi Leluhur di Kampung Adat Cireundeu

Share On Your Social Media

Sabtu (19/10/2024) JAKATARUB beroleh kesempatan untuk bersilaturahmi ke Kampung Adat Cireundeu. Kampung ini merupakan salah satu komunitas adat di Jawa Barat yang masih memegang teguh kepercayaan dan tradisi leluhur hingga saat ini. 

Keberadaan mereka yang terletak di Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, menjadi contoh bagaimana masyarakat adat Sunda dapat bertahan di tengah perkembangan zaman. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Cireundeu adalah Sunda Wiwitan, yang menekankan harmoni dengan alam dan penghormatan kepada para karuhun, sang leluhur.

Salah satu ciri khas masyarakat Cireundeu adalah kemandirian mereka pada singkong sebagai makanan pokok. Hal ini bermula pada masa penjajahan Belanda, di mana masyarakat dipaksa untuk menghasilkan padi yang kemudian diambil oleh pemerintah kolonial. Sebagai bentuk perlawanan, mereka beralih ke singkong yang kemudian menjadi simbol ketahanan dan kemandirian masyarakat Cireundeu. 

Ungkapan “Teu boga sawah asal boga pare, Teu boga pare asal boga beas, Teu boga beas asal bisa nyangu, Teu nyangu asal dahar, Teu dahar asal kuat” (Tidak punya sawah asal punya padi, Tidak punya padi asal punya beras, Tidak punya beras asal dapat menanak nasi, Tidak punya nasi asal makan, Tidak makan asal kuat), menggambarkan filosofi hidup mereka yang sederhana namun kuat. Filosofi ini menekankan pentingnya daya tahan dan kemampuan beradaptasi dengan keadaan yang sulit, tanpa harus kehilangan identitas budaya.

Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu tidak hanya menjaga tradisi melalui makanan, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan lainnya. Upacara adat dilakukan secara rutin untuk menghormati leluhur dan menjaga hubungan harmonis dengan alam. Kehidupan yang sederhana dan penuh kebersamaan terlihat dalam cara mereka menjalani hari-hari dengan tetap menghormati nilai-nilai yang diajarkan oleh nenek moyang mereka.

Salah satu tradisi unik yang ada di Kampung Adat Cireundeu adalah larangan memakai pakaian berwarna merah ketika berada di leweung (hutan) Puncak Salam. Larangan ini bukan sekadar aturan tanpa makna, melainkan salah satu bentuk penghormatan kepada alam dan energi yang dipercayai oleh masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan masyarakat Cireundeu dengan alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Meski berada di tengah arus modernisasi, Kampung Adat Cireundeu tetap teguh menjaga adat istiadat mereka. Komunitas ini terus mempertahankan keseimbangan antara kehidupan modern dan warisan budaya leluhur, memberikan contoh bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan berdampingan.

Penulis : Indah

Editor : Risdo Simangunsong


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 177

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *