FOTOGRAFI: JALAN SUNYI MENYELAMI TOLERANSI

Share On Your Social Media

Banyak medium yang mampu merekam keragaman agama dan kepercayaan yang kaya di tengah masyarakat Indonesia. Bisa jadi fotografi adalah salah satunya. Karya visual dua dimensi ini nyatanya mampu menghadirkan sederet gambar menyentuh perihal sudut keagamaan, tak hanya ritualnya namun juga sikap dan semangat toleransi diantara pemeluknya. Menekuni fotografi sejak sepuluh tahun terakhir lalu, membawa saya ke dalam banyak perjalanan.

Termasuk untuk urusan menghasilkan karya foto dengan tema keagamaan. Lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang beragam menjadi bekal jika sudut pandang seorang manusia itu mesti luas. Terbuka tanpa mengerdilkan satu golongan mana pun. Berkarir menjadi seorang jurnalis foto profesional makin menambah khazanah mengenai keberagaman agama dan keyakinan. Banyak momen keagamaan dan kebudayaan yang terekam hingga menghasilkan sebuah karya foto yang bernilai informatif.

Sebagai seorang jurnalis foto saya memposisikan diri tak ubahnya seperti gelas kosong yang siap diisi ketika datang ke tempat baru. Bertemu narasumber untuk keperluan wawancara dan menggali informasi selalu menghadirkan pengalaman baru yang rasanya kian menambah keilmuan.Termasuk dalam urusan keagamaan, saya tak bisa menampik kesempatan-kesempatan langka untuk merekam hari besar keagamaan, prosesi sembahyang hingga ritual kepercayaan.

Bagi saya pribadi, momen ini tak akan bisa dialami jika bukan profesi fotograferlah yang dipilih dan ditekuni. Sampai saat hari ini, saya selalu tertarik untuk mengabadikan setiap momen keagamaan. Entah mengapa memotret momen keagamaan ini selalu menghadirkan ketenangan dalam prakteknya. Mungkin karena dituntut untuk menghormati jalannya prosesi saat momen tersebut berlangsung.

Menjadi seorang peliput saat momen-momen keagamaan tak hanya mesti menghasilkan karya foto yang bagus, namun juga mesti bersikap hormat pada apa yang dilakukan umat beragama yang kita abadikan.Salah satu momen menarik saat memotret umat muslim melaksanakan salat Idul Fitri di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta.

Meski melaksanakan salat di kawasan galangan kapal laut, namun jemaah masih tetap khusyuk beribadah. Deretan shaf jemaah saat salat terlihat sangat rapi lengkap dengan pemandangan lanskap pelabuhan dan barisan kapal yang bersandar. Lain lagi saat saya memotret prosesi kebaktian malam Natal di GPIB Jemaat Pniel Yudha Wyorga, Jalan Bojong Asih, Kabupaten Bandung.

Lokasi ini merupakan wilayah langganan banjir di kawasan selatan Kota Bandung. Rasa haru tak terbendung saat memotret di sini, bayangkan saja di tengah perayaan Hari Natal esok harinya, jemaat di sini mesti melalui malam kebaktian dengan kondisi gereja terendam banjir. Suasana pencahayaan pun hanya diterangi lilin karena kondisi listrik yang mati.

Saya dibuat kagum dengan jemaat yang masih datang ke gereja dan khidmat saat prosesi kebaktian berlangsung.Di satu kesempatan saya pernah melakoni liputan panjang di Bali. Berhari-hari berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain demi mendapat momen liputan budaya di Pulau Dewata. Di Pura Gunung Kawi, Tampaksiring, Gianyar saya pernah diajak kelompok ibu yang menyiapkan prosesi upacara Mecaru.

Tanpa sungkan atau bertanya latar belakang agama saya apa, mereka mempersilakan saya untuk mengambil setiap momen yang bisa diambil. Belakangan saya tahu jika Mecaru ini merupakan ritual pembersihan pura menurut kepercayaan Hindu yang dilakukan untuk menyeimbangkan energi positif dan energi negatif di sekitar kawasan pura. Bahkan pernah sekali waktu saya ikut satu keluarga yang baru saya kenal di pelabuhan Nusa Penida menuju Pura Goa Giri Putri.

Pura yang tersembunyi di dalam goa ini menjadi pilihan bagi umat Hindu yang tertarik dengan kesunyian reliji. Berada di ketinggian 150 meter diatas permukaan laut serta panjang sekitar 310 meter, Pura Goa Giri Putri ini menjadi tempat wisata sekaligus tempat sembahyang dan ritual keagamaan. Bertemu dengan orang-orang baru saat liputan keagamaan ini bukan sekali dua kali saya lakoni.

Saat meliput hari raya Waisak saya pernah diajak berkeliling di Wihara Buddha Arya Dwipa Arama, Jalan Raya Ceger, Cipayung, Jakarta. Saat itu saya memotret umat Budha yang tergabung dalam Keluarga Buddhis Abdi Negara DKI Jakarta untuk melaksanakan prosesi sembahyang pada puncak perayaan Tri Suci Waisak.

Prosesi sembahyang ini digelar guna mengenang dan merenungkan kembali makna spiritual dengan semangat yang dikandung dalam tiga peristiwa agung yaitu kelahiran Pangeran Siddharta Gautama di Lumbini, tercapainya penerangan sempurna di bawah pohon Bodhi di Hutan Gaya dan Parinirwana Buddha Gautama di Kusinara.

Saya juga masih ingat pernah diajak seorang pengurus Vihara Dharma Ramsi, Jalan Cibadak, Kota Bandung, Pak Asoey singgah di rumahnya. Saat itu beliau membersihkan patung dewa di kediamannya, menyalakan lilin khas Imlek dan sembahyang mendoakan leluhurnya.

Menurut beliau pembersihan ini bermakna menyucikan hati, fisik, mental dan nurani manusia untuk kembali menjadi suci dan pribadi yang lebih baik. Fotografi ternyata membawa saya bertemu juga dengan kelompok masyarakat yang mengutamakan hubungan manusia, Tuhan dan alam.

Pengalaman berharga ini saya dapatkan saat memotret Upacara Ngertakan Bumi Lamba. Masyarakat adat Sunda Nusantara Sabuana rutin menggelar upacara adat ini di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu, Kabupaten Bandung Barat. Rangkaian prosesinya berupa persembahan sesajen, pembacaan mantera, nyanyian suci, musik tradisional, tarian jiwa, serta meditasi yang diikuti oleh pemangku adat dan tokoh spiritual dari daerah adat sunda ini merupakan wujud rasa syukur atas keindahan dan kebersamaan dalam kehidupan.

Ternyata momen-momen relijiusitas ini tak hanya saya temui di ruang-ruang atau waktu ibadaha saja. Bahkan saya ingat pernah mengabadikan prosesi doa yang kerap dimunajahkan di arena olahraga PON XXI Papua. Untuk sampai di podium juara, persaingan ketat sesama atlet sudah pasti dilewati. Segala hal yang merintanginya sebisa mungkin dilampaui.

Beberapa percaya jika faktor keberuntungan semakin terbuka lebar dengan kekuatan doa.Beberapa pemain mengagungkan Rasul-Nya dengan salawat, beberapa lainnya menyanyikan kidung memuja Tuhan-Nya. Bahkan sebagai wujud syukur usai bertanding prosesi membakar dupa pun dilakoni sambil memanjatkan doa pada Sang Hyang Widhi.

Mereka berdoa dengan apa yang dipercayainya.Pengalaman-pengalaman ini yang semakin saya percaya jika tembok perbedaan itu hanyalah kita yang buat. Rasa fanatik terhadap satu agama atau keyakinan rasanya mampu menjadi penghalang bagi kita mengenal satu sama lain. Saya semakin percaya jika fotografi, medium visual dua dimensi ini mampu mengantarkan kita untuk semakin dalam menyelami toleransi. Bukankah benar kata Pure Saturday, “Langit Terbuka Luas, Mengapa Tidak Pikiranku, Pikiranmu?”

Penulis : Djuli Pamungkas


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 170

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *