Orang Tua: Kunci Membentuk Generasi Toleran

Share On Your Social Media

Kasus seorang oknum ASN yang memprotes doa bersama di rumah tetangganya di Bekasi, Jawa Barat, menjadi sorotan atas lemahnya toleransi di masyarakat. Jawa Barat, yang tercatat sebagai provinsi dengan tingkat pelanggaran kebebasan beragama tertinggi pada 2023 dengan 47 kasus pelanggaran yang dilaporkan oleh SETARA Institute di wilayah ini, Provinsi dengan penduduk terbanyak ini justru menghadapi tantangan besar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Menegaskan bahwa isu ini perlu ditangani sejak dini.

Salah satu caranya adalah melalui pendidikan keberagaman di lingkungan keluarga. Rumah adalah tempat pertama anak belajar memahami dunia. Orang tua memegang peran penting sebagai jembatan awal bagi anak untuk mengenal keberagaman di sekitarnya.

Namun jika orang tua sendiri memiliki pandangan sempit dan membatasi perbedaan, anak cenderung meniru sikap tersebut. Anak-anak adalah peniru ulung mereka menyerap apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di rumah.


Toleransi Dimulai dari Rumah


Siapa yang bertanggung jawab dalam membentuk sudut pandang anak terhadap keberagaman di sekitarnya? Jawabannya adalah orang tua. Sebagai figur utama dalam kehidupan seorang anak, orang tua memiliki tanggung jawab besar atas hak jasmani dan rohani anak mereka.

Mulai dari menyediakan kehidupan yang layak, kasih sayang yang penuh, hingga pendidikan yang tepat, semua itu menjadi fondasi penting bagi anak untuk memahami dunia dengan segala keberagamannya. Pemahaman mengenai keberagaman keyakinan pun seharusnya dimulai dari rumah.

Pendidikan formal memang memiliki perannya, tetapi pendidikan nonformal di rumah adalah kunci utama yang membentuk dasar pemikiran anak. Jika orang tua sendiri memiliki pandangan yang sempit atau cenderung mengkotak-kotakkan keberagaman, anak sebagai peniru ulung akan mencontoh perilaku tersebut. Keberagaman berkeyakinan adalah realitas yang ada di sekitar kita. Sejak kecil, kita diajarkan tentang pentingnya toleransi.

Namun, praktik toleransi itu sendiri sering kali tidak berjalan sesuai harapan. Anak-anak mungkin melihat atau bahkan mengalami candaan yang mengarah pada keyakinan agama. Misalnya, candaan untuk mengajak teman menganut keyakinan yang sama, yang sering dianggap lucu atau biasa saja.

Padahal, jika dilihat dari sudut pandang teman yang berbeda keyakinan, candaan itu bisa terasa menyakitkan dan melibatkan hubungan pribadi seseorang dengan Tuhannya.

Sayangnya, karena respons yang terlihat santai dari teman-teman tersebut, kita kerap merasa candaan seperti itu wajar dan terus melanggengkannya. Padahal, tanpa disadari, sikap ini bisa melukai perasaan dan memupuk sikap intoleran sejak dini.

Dampaknya tidak main-main. Anak yang merasa tersudutkan karena perbedaan keyakinan bisa menutup diri secara sosial. Dalam kasus yang lebih berat, mereka bahkan mungkin memilih untuk pindah sekolah atau berhenti belajar sama sekali.


Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?

Untuk membentuk anak yang terbuka terhadap keberagaman, orang tua harus aktif dalam mendampingi mereka memahami perbedaan. Langkah pertama adalah memberikan ruang diskusi yang nyaman. Anak sering kali memiliki banyak pertanyaan tentang perbedaan keyakinan yang mereka temui.

Orang tua harus menjawab pertanyaan tersebut dengan sikap positif, mengajarkan bahwa perbedaan adalah bagian wajar dari kehidupan. Selain itu, orang tua perlu mengenalkan anak pada tradisi dan budaya yang berbeda.

Misalnya, mengajak mereka melihat perayaan agama lain, mendengarkan cerita dari teman-teman yang berbeda keyakinan, atau membaca buku yang memperkenalkan nilai-nilai keberagaman. Melalui pengalaman langsung ini, anak-anak dapat belajar bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi dihormati.

Lebih penting lagi, orang tua harus memberikan contoh nyata. Anak-anak tidak hanya belajar dari apa yang mereka dengar, tetapi juga dari apa yang mereka lihat. Ketika orang tua menunjukkan sikap toleran dalam kehidupan sehari-hari, anak akan menangkap nilai tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian mereka.


Mengajarkan Empati, Bukan Sekedar Toleransi

Selain toleransi, empati juga harus menjadi nilai yang diajarkan sejak dini. Empati membantu anak memahami perasaan orang lain, bahkan jika mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Misalnya, mengajak anak ikut merayakan acara keagamaan yang berbeda bisa menjadi cara sederhana untuk mengajarkan empati.

Dengan memahami pengalaman orang lain, anak-anak belajar menghormati orang lain sebagai individu yang memiliki keyakinan dan nilai yang unik. Langkah-langkah kecil ini dapat membentuk anak menjadi individu yang inklusif. Mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman.


Membangun Generasi yang Lebih Toleran

Anak-anak yang dibesarkan dengan pemahaman yang baik tentang keberagaman cenderung memiliki hubungan yang harmonis dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Di tengah dunia yang penuh tantangan, orang tua memiliki tugas penting untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan empati sejak dini. Dengan bimbingan yang tepat, anak-anak akan belajar menerima perbedaan dan merayakannya sebagai bagian dari kehidupan.

Peran ini bukan hanya membantu mengurangi kasus intoleransi, tetapi juga menciptakan generasi baru yang lebih menghargai keberagaman dan siap menciptakan masyarakat yang damai. Dengan langkah sederhana yang dilakukan konsisten di rumah, orang tua dapat menjadi ujung tombak perubahan sosial.

Keberagaman bukan lagi ancaman, melainkan kekuatan yang menyatukan. Di sinilah orang tua memainkan peran tak tergantikan dalam membentuk masa depan yang lebih baik.

Penulis: Nabilah Ayu Rizqi Syafira


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 170

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *