Selama lima tahun menjalani profesi sebagai guru, saya telah berpindah mengajar di berbagai sekolah. Sebagian besar sekolah tempat saya bekerja adalah sekolah berbasis agama Islam. Dalam perjalanan itu, saya sering menemui berbagai sikap dan kebiasaan para pendidik, terutama mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat. Sayangnya, beberapa di antaranya kerap melontarkan pernyataan yang mendiskreditkan agama lain, bahkan menjadikan keyakinan berbeda sebagai bahan olok-olok di dalam kelas.
Lebih mengejutkan lagi, ada sekolah-sekolah yang memberlakukan aturan memaksakan atribut agama tertentu kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan keberagaman latar belakang mereka. Hal ini menimbulkan keprihatinan mendalam, mengingat sekolah seharusnya menjadi ruang aman yang mendukung pembelajaran toleransi dan perdamaian. Alih-alih menciptakan lingkungan inklusif, praktik semacam itu justru mengikis nilai toleransi yang semestinya dijaga.
Namun, pengalaman mengajar di sebuah sekolah dengan visi perdamaian memberikan harapan baru. Sekolah ini memiliki program seperti peace generation dan dialog antaragama yang bertujuan menciptakan harmoni di antara siswa. Meskipun demikian, tantangan tetap ada. Beberapa oknum guru masih menyebarkan narasi yang tidak sehat, memperlihatkan bahwa upaya menciptakan lingkungan damai memerlukan komitmen yang konsisten dari semua pihak.
Guru memegang peran yang sangat penting dalam membentuk generasi penerus yang toleran. Sebagai agen perdamaian, guru tidak hanya bertanggung jawab mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai empati, penghormatan terhadap perbedaan, dan semangat kerja sama. Peran ini menjadi semakin relevan di tengah masyarakat yang plural.
Toleransi beragama adalah nilai fundamental yang harus diajarkan sejak dini. Sekolah merupakan miniatur masyarakat yang mencerminkan keberagaman, sehingga penting bagi guru untuk memastikan siswa memahami bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dan tidak boleh menjadi alasan perpecahan. Guru yang menjadi teladan dalam menghargai keberagaman dapat mendorong siswa untuk tumbuh menjadi individu yang lebih terbuka dan inklusif.
Selain sebagai teladan, guru juga berperan sebagai fasilitator perdamaian. Dalam hal ini, guru bertugas menciptakan ruang diskusi yang aman bagi siswa untuk berbicara dan belajar tentang keberagaman. Dialog lintas agama, misalnya, bisa menjadi sarana efektif untuk membangun pemahaman dan penghargaan terhadap keyakinan lain. Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya belajar tentang agama mereka sendiri, tetapi juga mengenal nilai-nilai universal yang diajarkan oleh agama lain.
Di sisi lain, penting untuk menyadari bahaya ketika guru menjadi provokator yang menyebarkan kebencian atau dogma yang sempit. Guru yang tidak peka terhadap isu keberagaman berisiko menciptakan generasi yang intoleran, bahkan radikal. Peran guru sebagai pendidik harus selalu diarahkan pada upaya membangun harmoni, bukan memecah belah.
Menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif dan damai memang bukan tugas yang mudah. Namun, dampaknya sangat besar bagi pembentukan karakter siswa. Guru yang mengajarkan toleransi akan melahirkan generasi yang mampu bekerja sama dalam keberagaman, menghargai perbedaan, dan menjadi agen perdamaian di masyarakat.
Sebagai pendidik, penting bagi kita untuk terus belajar dan membuka diri terhadap berbagai pendekatan yang mendukung nilai toleransi. Dengan begitu, kita tidak hanya menciptakan sekolah yang aman bagi semua siswa, tetapi juga membangun masa depan yang lebih harmonis. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi pembimbing yang memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian di hati setiap siswa. Hanya dengan komitmen yang kuat, kita dapat benar-benar menciptakan perubahan yang berarti.
Penulis : Muhmmad Tegar Pratama