Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Sosial Generasi dalam menyikapiKebebasan Beragama dan berkeyakinan

Share On Your Social Media

Mayoritas generasi muda di Indonesia menggunakan Instagram (51,9%) sebagai platform utama untuk aktivitas sosial, diikuti oleh TikTok dan YouTube, menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)1 . Generasi ini juga menghabiskan lebih dari satu jam per sesi saat mengakses TikTok, menjadikannya platform utama pencari informasi di kalangan anak muda. Media sosial telah menjadi ruang dominan bagaimana generasi sekarang berdinamika, mulai dari interaksi yang melibatkan reaksi sederhana seperti menyukai sebuah postingan sosial media sampai diskusi melalui kolom chat.


Sekilas tampak seperti tidak ada masalah dan apapun yang perlu dikhawatirkan, namun
ketika mengetahui fakta saat ini, bahwa kasus intoleransi di ruang daring lebih dominan, dan
banyak perilaku intoleransi saat ini, terjadi akibat proses-proses yang terjadi di ruang maya, hal
tersebut terjadi diakibatkan oleh ketiadaan identitas di ruang digital. Mereka yang melakukan
tindakan intoleransi dan mencederai nilai kebebasan beragama-berkeyakinan, cenderung tidak
menggunakan identitas atau bahkan menggunakan identitas palsu, sehingga tidak ada beban
untuk berkomentar apapun. Hal itu diperparah dengan maraknya konten-konten intoleransi, ujaran kebencian dan diskriminasi yang kemudian itu diperkuat oleh ketidakteraturan Algoritma
atau “Bias Algoritma”.


Ketidakteraturan algoritma atau bias algoritma adalah situasi dimana algoritma secara buta melakukan preferensi konten, dimana algoritma melakukan rekomendasi konten-konten selanjutnya berdasarkan perilaku pengguna tanpa melihat konten tersebut tentang apa, artinya jika pengguna ada kecenderungan menyukai konten-konten tertentu, maka algoritma akan merekomendasikan konten tersebut pada pengguna, dan saat ini ada kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan hal ini dengan menyebarkan pandangan radikal melalui konten di sosial media.

Jika diilustrasikan, Generasi muda adalah pasar bagi kelompok radikal untuk menyebarkan pahamnya, dan sosial media merupakan pihak ketiga yang memperantainya dengan algoritma sebagai kuli pakul yang membawa barang atau “konten” ke pasar. Algortima akan memperkuat dominasi konten jika konten tersebut disukai oleh pengguna, artinya jika konten yang menyebarkan paham radikal disukai oleh pengguna, maka algoritma akan menguatkan dominasi konten tersebut di ruang maya, tidak semata-mata hanya menguatkannya begitu saja, tapi algoritma dengan sistem kecerdasan buatan yang dimilikinya, akan mendominasi konten berdasarkan beberapa aspek seperti umur pengguna, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan faktor lainnya.

Maka jika konten paham radikal disukai oleh anak muda, konten tersebut akan diperkuat oleh algoritma yang dipreferensikan kembali pada anak muda lainnya, menurut Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar “Anak-anak muda pelajar itu rentan sekali terpapar ideologi radikal ini”. Dalam salah satu episode TED Talks, “The Nightmare Videos of Children’s YouTube – and What’s Wrong With The Internet Today”, James Bridle, 2seorang penulis sekaligus seniman pemerhati teknologi dan budaya bercerita tentang ketidakteraturan algoritma yang mengantarkan anak bertemu dengan konten-konten negatif, fenomena seperti ini mengkhawatirkan karena tidak hanya memengaruhi perilaku anak, tetapi juga cara pandang anak khususnya Generasi Z.

Media sosial telah menjadi bagian integral dalam kehidupan generasi muda di Indonesia layaknya pedang bermata dua, media sosial dapat memberikan dampak positif sebagai platform interaksi sosial dan penyebaran informasi. Namun, di sisi lain, platform ini memiliki potensi besar dalam memperburuk polarisasi dan intoleransi. Bias algoritma dan peran buzzer dalam menyebarkan narasi intoleransi telah memperkeruh ruang digital, memperbesar risiko penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

Maka diperlukan langkah-langkah konkrit untuk meminimalisir hal tersebut terutama adalah bagaimana kemudian anak-anak dapat diamankan dari pengaruh sosial media, seperti yang dilakukan pemerintah Australia saat ini dengan secara resmi mengesahkan Undang-undang yang melarang anak dibawah umur minimal untuk menggunakan media sosial3, bukan kemudian melakukan pelarangan pada anak-anak untuk menggunakan sosial media seperti yang dilakukan Australia tapi pemerintah perlu melakukan
pengendalian artinya pola dinamika atau proses-proses yang terjadi di sosial media perlu
dikendalikan, lalu perusahaan terkait perlu dilakukan pengkajian ulang terkait proses algoritma
yang terjadi, agar tidak hanya fokus pada engagement, tetapi juga dampak sosial dari konten
yang direkomendasikan.

Penulis : Tanu


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 177

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *