Cafe Survivor: Refleksi Perjalanan Mendukung Kesetaraan dan Keadilan

Share On Your Social Media

Gender Research Student Center (GREAT), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) berkolaborasi dengan Bandung Lautan Damai (BaLaD) menyelenggarakan kegiatan Cafe Survivor bertema “Belajar dari Perjalanan: Memahami, Mendukung, dan Bertindak”, pada Kamis, 28 November 2024, di Kantor Sinode GKP, Bandung. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, sekaligus ajang untuk meningkatkan kesadaran dan solidaritas terhadap perjuangan para penyintas kekerasan berbasis gender dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB).

Menghadirkan lima narasumber penyintas dari berbagai latar belakang, Cafe Survivor bertujuan menciptakan ruang aman bagi para korban kekerasan untuk berbagi pengalaman sekaligus mengedukasi masyarakat mengenai dampak nyata dari kekerasan berbasis gender dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Lima narasumber utama adalah Eva, seorang perempuan pembela HAM; Obertina, konselor Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT); Naura, yang berbagi tentang kekerasan dalam pacaran; Cici, pendamping dan penyintas kekerasan seksual; dan Dini, penyintas diskriminasi kebebasan beragama dan berkeyakinan.  

Mereka tidak hanya menceritakan kisah perjuangan dan pemulihan, tetapi juga menekankan pentingnya solidaritas komunitas dan tindakan nyata untuk mendukung para korban. Fadhil, Koordinator BALAD, menyatakan harapannya bahwa acara ini dapat menjadi katalis untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, setara, dan penuh empati.  

Kegiatan berlangsung dalam format post-to-post, di mana peserta berkeliling ke lima pos yang masing-masing membahas isu spesifik: Kekerasan dalam Pacaran (KDP), KDRT, diskriminasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), kekerasan seksual, pendampingan kekerasan seksual, dan pengalaman perempuan pembela HAM. Peserta diajak mendengarkan langsung kisah para penyintas, berdiskusi, serta merefleksikan pandangan mereka terhadap isu-isu tersebut.  

Pada setiap pos, suasana penuh emosi dan pembelajaran mendalam terbangun. Peserta tidak hanya mendengarkan cerita yang menyentuh hati, tetapi juga diberi kesempatan untuk menggali lebih dalam tentang akar permasalahan kekerasan, dampaknya, dan solusi yang dapat diambil.  

Acara ini ditutup dengan sesi refleksi kelompok, di mana peserta dalam setiap kelompoknya menyampaikan pandangan, pesan, dan pembelajaran dari pengalaman mengikuti rangkaian kegiatan. 

  1. Kesadaran Akan Lingkaran Kekerasan: Kelompok pertama menyoroti bagaimana kekerasan, terutama dalam hubungan pacaran (KDP), sering kali berkembang secara tersembunyi hingga menjadi lingkaran setan yang sulit diakhiri. Mereka juga mencatat bahwa isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) harus didekati melalui dialog tanpa klaim kebenaran absolut. Dalam kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), perempuan sering kali menghadapi beban ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja, seperti pendeta di gereja.
  2. Kepercayaan yang Disalahgunakan: Peserta kelompok kedua menekankan bahwa pelaku kekerasan biasanya adalah orang-orang yang dipercaya, seperti pasangan hidup atau aparat negara yang seharusnya melindungi. Refleksi ini menggarisbawahi pentingnya menyadari bahwa perempuan bukan objek kekerasan, dan bagaimana keterbukaan dalam berdiskusi dapat meningkatkan empati terhadap korban.
  3. Hubungan Kekuasaan dan Kekerasan: Kelompok ketiga mengamati bahwa kekerasan seksual maupun penggusuran sering kali berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang menciptakan hubungan tidak setara. Mereka menyoroti pentingnya aksi nyata dan empati dari sudut pandang korban untuk membantu proses pemulihan yang efektif.
  4. Ketidaktahuan Akan Realitas Sosial: Kelompok keempat mencatat bahwa banyak aspek kehidupan yang sering kali tidak disadari, seperti kasus KDRT dan kekerasan seksual yang dihadapi masyarakat di Bandung. Mereka juga mencatat bahwa upaya akomodasi terhadap isu kekerasan gender belum merata di berbagai komunitas agama, yang menjadi tantangan penting untuk diperjuangkan.
  5. Empati dan Kesadaran terhadap Diskriminasi: Kelompok terakhir menyoroti perjuangan para penyintas yang tidak hanya berusaha pulih, tetapi juga berkontribusi sebagai pendamping bagi korban lainnya. Mereka juga mencatat bahwa diskriminasi sering kali datang dari lingkungan terdekat, bahkan dalam komunitas agama yang sama. Empati dinilai lebih penting daripada simpati, terutama dalam mendukung korban dengan pendekatan yang sesuai kebutuhan mereka.

Melalui Cafe Survivor, GREAT, KPI, dan JAKATARUB berhasil menyampaikan pesan penting bahwa kekerasan berbasis gender dan diskriminasi atas nama agama bukan hanya masalah individu, tetapi tanggung jawab bersama untuk diatasi. Acara ini menjadi pengingat bahwa empati, keberpihakan dan keberanian mendukung korban, menciptakan ruang aman, dan tindakan nyata adalah langkah awal menciptakan dunia yang lebih aman dan inklusif.  

Dengan semangat “Belajar dari Perjalanan,” harapannya acara ini dapat terus menginspirasi masyarakat Bandung dan sekitarnya untuk mengambil peran aktif dalam memerangi diskriminasi dan kekerasan, demi mewujudkan Bandung Lautan Damai yang sesungguhnya.


Share On Your Social Media
Ucu Cintarsih
Ucu Cintarsih
Articles: 6

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *