Kamis, (5/12/24), Gender Research Student Center (GREAT) bersama Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) menyelenggarakan kegiatan Konsolidasi SPPKS se-Bandung Raya dengan tema “Bandung Raya Bersatu: Konsolidasi SPPKS untuk Melawan Kekerasan Seksual” diselenggarakan di GKI Guntur, Bandung. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Bandung Lautan Damai 2024 (BALAD) yang bertujuan memperkuat kolaborasi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SPPKS) antar perguruan tinggi di Bandung Raya.
Dalam kegiatan ini, peserta diajak memahami perubahan kebijakan dari Permendikbud No. 30 Tahun 2021 ke Permendikbud No, 55 Tahun 2024. Perubahan ini memperluas cakupan kekerasan yang diakomodir, mulai dari kekerasan seksual hingga fisik, psikis, perundungan, diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis kebijakan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas SPPKS di setiap kampus untuk menangani kasus kekerasan, meningkatkan kolaborasi lintas institusi, dan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif.
Kegiatan ingin dihadiri oleh perwakilan SPPKS dari berbagai perguruan kampus di Bandung Daya. Narasumber utama adalah Hani Yulindrasari (Ketua Satgas PPKS UPI), yang membahas kondisi objektif kekerasan seksual di perguruan tinggi; Firman Nurdiansyah (Sekretaris Satgas PPKS UPI), yang memaparkan tentang Permendikbud No. 55 Tahun 2024; serta Ucu Cintarsih (JAKATARUB), yang mengangkat isu diskriminasi dan intoleransi berbasis agama (KBB) di perguruan tinggi.
Kegiatan berlangsung dalam beberapa sesi; pertama, sesi pematerian membahas tiga topik utama meliputi kondisi objektif kekerasan seksual di perguruan tinggi yang mencakup berbagai jenis kekerasan mulai dari fisik verbal hingga berbasis elektronik, perubahan signifikan pada Permendikbud No. 55 Tahun 2024 yang memperluas cakupan dan tanggung jawab SPPKS menjadi SPPKPT (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Perguruan Tinggi), dan isu diskriminasi agama (KBB) di perguruan tinggi, yang memerlukan pendekatan berbasis advokasi dan edukasi untuk menciptakan kampus yang lebih inklusif. Kedua, sesi diskusi dan praktik baik di mana peserta berbagi pengalamannya terkait upaya preventif dan responsif dalam menangani kekerasan seksual di masing-masing kampus. Beberapa kampus, seperti UPI dan ITB, telah memiliki program rutin seperti sosialisasi dan peluncuran buku panduan. Namun, kampus lain, seperti STIKOM Bandung dan Widyatama, masih dalam tahap awal pembentukan satgas dan penyediaan fasilitas yang mendukung.
Dalam sesi diskusi, peserta membahas kendala seperti minimnya anggota satgas, keterbatasan pendanaan, hingga birokrasi yang menghambat. Strategi yang diusulkan mencakup pelibatan relawan mahasiswa, peningkatan pelatihan anggota satgas, dan konsolidasi dengan organisasi mahasiswa (ORMAWA) untuk memperkuat jejaring dan kesadaran akan isu ini.
Di sesi refleksi, peserta membagikan beberapa pandangannya bahwa kasus kekerasan seksual masih menjadi fenomena gunung es yang membutuhkan penanganan lebih baik melalui pelaporan yang aman dan fasilitas yang mendukung. Diskriminasi berbasis agama sering terjadi di kampus, termasuk paksaan mengikuti mata kuliah agama tertentu yang tidak sejalan dengan keyakinan mahasiswa. Kolaborasi antar-stakeholder menjadi kunci, termasuk peran ORMAWA dalam membangun kesadaran akan kekerasan berbasis gender dan agama. Juga, implementasi Permendikbud No. 55 memerlukan pendekatan strategis untuk mengatasi tata tangan birokrasi dan keterbatasan sumber daya di beberapa kampus.
Konsolidasi SPPKS ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas institusi dan pendekatan yang berorientasi pada korban dalam menangani kekerasan di lingkungan kampus. Dengan adanya kesadaran bersama, harapannya setiap kampus di Bandung Raya mampu menciptakan ruang aman dan inklusif bagi seluruh civitas akademika.