Sejarah Ketegangan Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia

Share On Your Social Media

Ketegangan antara kebebasan beragama dan kerukunan di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, sejak masa penjajahan hingga era reformasi. Pada masa penjajahan Jepang, perdebatan tentang posisi agama dalam negara mulai muncul dengan kuat di antara pendiri bangsa.

Sidang-sidang BPUPKI menjadi salah satu momen penting, di mana para pemimpin berusaha merumuskan dasar negara yang mampu mengakomodasi keragaman agama tanpa mengabaikan hak-hak individu. Dalam konteks ini, gagasan kebebasan beragama mulai bersemi, meskipun belum sepenuhnya diterima oleh semua pihak.

Perdebatan semakin intensif pada era Konstituante (1956-1959), di mana isu hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama, menjadi agenda penting. Namun, gagasan kebebasan ini sering kali berbenturan dengan aspirasi kelompok yang menginginkan peran agama tertentu dalam struktur negara.

Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Konstituante menandai berakhirnya perdebatan konstitusional ini. Akan tetapi, ketegangan antara kebebasan beragama dan peran agama dalam negara terus menjadi isu yang relevan.

Pada masa Orde Baru, konsep kerukunan umat beragama dijadikan sebagai prioritas utama pemerintah. Kerukunan ini, bagaimanapun, sering kali dicapai dengan mengorbankan kebebasan individu. Pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mengontrol kehidupan beragama, seperti kewajiban mencantumkan agama pada KTP dan pembatasan terhadap agama atau kepercayaan yang dianggap menyimpang. Hal tersebut merupakan “Politik perukunan” yang diterapkan Orde Baru yang sering kali menimbulkan kritik karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi dan berkeyakinan.

Pasca-reformasi, konstitusi Indonesia semakin memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama melalui Pasal 28E UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan kepercayaan sesuai hati nuraninya. Namun, implementasi kebebasan ini masih menghadapi banyak tantangan.

Misalnya, munculnya perda-perda berbasis agama tertentu yang dianggap diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Selain itu, kasus-kasus intoleransi yang melibatkan kelompok agama tertentu juga menunjukkan bahwa ketegangan antara kebebasan beragama dan kerukunan masih jauh dari selesai.

Misalnya dalam kasus perizinan rumah ibadah umat Kristiani, terdapat fakta di temukan di lapangan yang menyatakan bahwa yang minoritaslah (kristiani) yang harus menjaga kerukunan sehingga harus taat pada aturan-aturan pemerintah seperti SKB (Surat Keputusan Bersama) 2 Menteri tentang syarat-syarat pendirian rumah ibadah.

Padahal seringkali situasi saat menempuh prizinan tidak berjalan dengan lancar, karena masih banyak masyarakat kelompok agama lain yang bersikap intoleran, yang tidak menginginkan adanya kelompok agama lain di lingkungan mereka, hanya karena alasan ketertiban masyarakat.

Sejarah panjang ini menunjukkan bahwa upaya menciptakan keseimbangan antara kebebasan beragama dan kerukunan merupakan tantangan yang terus menerus. Sebagaimana diungkapkan dalam buku “Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia: Telaah Sejarah, Politik, dan Hukum” (PUSAD Paramadina, 2024), penting untuk memahami akar ketegangan ini dalam konteks sejarah dan sosial-politik yang lebih luas.


Share On Your Social Media
Yohanes Irmawandi
Yohanes Irmawandi
Articles: 43

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *