Tidak Beragama: Bertentangan dengan Pancasila Sila Pertama?

Share On Your Social Media

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sering menjadi rujukan utama dalam berbagai diskusi tentang kebangsaan, termasuk isu kebebasan beragama. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” kerap diinterpretasikan sebagai kewajiban untuk meyakini dan mempraktikkan agama tertentu. Namun, apakah benar masyarakat yang memilih untuk tidak beragama bertentangan dengan sila ini?

Secara tekstual, Sila Pertama menekankan pentingnya keberadaan nilai Ketuhanan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa. Namun, interpretasi terhadap sila ini sering kali berbeda-beda. 

Sebagian pihak memahami “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai bentuk pengakuan atas eksistensi Tuhan dalam kehidupan manusia. Namun, penting untuk dicatat bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bersifat inklusif dan memberikan ruang bagi semua warga negara, terlepas dari agama atau kepercayaan yang mereka anut.

Pasal 28E UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, serta berhak kembali.” 

Selain itu, Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan ini menunjukkan bahwa negara tidak memaksakan agama tertentu kepada warganya.

Di Indonesia, kelompok yang memilih untuk tidak beragama sering menghadapi stigma sosial dan tekanan, meskipun kebebasan berkeyakinan dijamin dalam konstitusi. Banyak pihak yang menganggap bahwa tidak beragama sama dengan melanggar nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Pertama. Namun, pandangan ini kurang mendalam dan tidak sepenuhnya memahami esensi Pancasila.

Dalam buku “Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia” (PUSAD Paramadina, 2024), disebutkan bahwa Pancasila adalah fondasi yang mengakomodasi keberagaman keyakinan, termasuk mereka yang memilih untuk tidak berafiliasi dengan agama tertentu. 

Hal ini penting untuk menjaga kesetaraan dan persatuan dalam masyarakat yang majemuk. Buku tersebut juga menyoroti bahwa penggunaan Sila Pertama untuk mendiskriminasi kelompok tertentu sebenarnya bertentangan dengan semangat Pancasila itu sendiri, yang menekankan keadilan dan kemanusiaan.

Ketuhanan dalam Pancasila seharusnya dipahami secara inklusif, yaitu sebagai prinsip yang mengakui keberadaan berbagai bentuk keyakinan, termasuk kepercayaan tradisional maupun pilihan untuk tidak beragama. Dalam praktiknya, interpretasi yang terlalu sempit terhadap Sila Pertama dapat menjadi alat untuk menekan kebebasan individu dan menciptakan diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Sebagai contoh, pemerintah mewajibkan pencantuman agama yang diakui di Indonesia pada kolom KTP. Aturan ini sering menjadi kendala bagi individu yang tidak beragama atau menganut kepercayaan lokal. Situasi ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara praktik birokrasi dan semangat inklusivitas Pancasila.

Masyarakat yang memilih untuk tidak beragama seharusnya tidak bertentangan dengan Pancasila, khususnya Sila Pertama. Sebaliknya, interpretasi inklusif terhadap Sila Pertama justru harus menegaskan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk hidup dalam keberagaman tanpa tekanan atau diskriminasi.

Dalam konteks ini, penting bagi negara dan masyarakat untuk terus memperjuangkan interpretasi Pancasila yang inklusif untuk keadilan, kesetaraan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara.


Share On Your Social Media
Yohanes Irmawandi
Yohanes Irmawandi
Articles: 43

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *