Perumusan Piagam Jakarta adalah salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia yang mencerminkan pergulatan pemikiran antara berbagai kelompok terkait dasar negara. Dialog tersebut tidak hanya mengungkapkan visi ke-Indonesiaan para pendiri bangsa tetapi juga ketegangan antara gagasan kebebasan beragama dan peran agama dalam kehidupan bernegara.
Pada 1 Juni 1945, Soekarno memperkenalkan konsep Pancasila dalam sidang BPUPKI sebagai dasar negara. Namun, beberapa pihak, khususnya dari kelompok Islam, merasa bahwa gagasan tersebut belum cukup mencerminkan aspirasi mereka.
Sebagai hasil kompromi, sebuah panitia kecil yang dipimpin oleh Soekarno kemudian merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Dalam dokumen ini, terdapat rumusan Sila Pertama yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Frasa ini segera memicu perdebatan sengit. Kelompok nasionalis sekuler mengkhawatirkan bahwa hal ini dapat menciptakan diskriminasi terhadap pemeluk agama lain, sementara kelompok Islam melihatnya sebagai pengakuan terhadap aspirasi umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia pada saat itu.
Mohammad Hatta mempertanyakan apakah dasar negara yang disusun dapat diterima oleh semua golongan dan mengingatkan bahwa frasa ini berpotensi menimbulkan perpecahan di masa depan. Sementara itu, Mohammad Yamin menekankan pentingnya menghormati aspirasi mayoritas umat Islam yang telah berjuang untuk kemerdekaan. Ia merasa bahwa kompromi ini sudah mencerminkan semangat kebersamaan. Soekarno, dalam upayanya menjaga keseimbangan, mengingatkan bahwa Indonesia bukan hanya terdiri dari satu agama atau satu golongan. Ia berharap jalan tengah dapat ditemukan agar tidak merugikan salah satu pihak.
Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Piagam Jakarta kembali dibahas dalam sidang PPKI. Perwakilan Indonesia Timur, yang mayoritas beragama Kristen, menyatakan keberatan terhadap frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Setelah melalui diskusi yang intens, frasa tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perubahan ini diterima dengan berat hati oleh beberapa tokoh Islam, tetapi dianggap sebagai kompromi penting untuk menjaga persatuan bangsa.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku “Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia” (PUSAD Paramadina, 2024), keputusan tersebut menegaskan prinsip inklusivitas dalam Pancasila, tetapi ketegangan tersebut tidak sepenuhnya hilang. Perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara terus berlanjut dalam sejarah Indonesia, mencerminkan kompleksitas dalam mengelola keberagaman.
Dialog dalam perumusan Piagam Jakarta menunjukkan bahwa pendiri bangsa sangat menyadari tantangan dalam menciptakan dasar negara yang dapat mempersatukan masyarakat yang majemuk. Ketegangan yang muncul bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan mencerminkan dinamika demokrasi yang sehat. Sebagai bangsa, kita dapat belajar dari dialog ini untuk terus menjaga keseimbangan antara aspirasi keagamaan dan prinsip kebebasan yang inklusif.