Tanpa Moderasi, Sekolah Membentuk lingkungan bebas Bully & Intoleransi.

Share On Your Social Media

Setahun lalu, sebelum bergabung dengan Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama), aku mengikuti pelatihan kampanye Biar Tenang x Social Connect Generasi Anti-Bullying. Saat itu, aku mulai menyadari bahwa dua isu yang tampaknya berbeda yaitu kesehatan mental dan keberagaman lintas iman sebenarnya saling berkaitan.

Ketika akhirnya aku menjadi bagian dari Jakatarub, banyak kasus diskriminasi yang kerap terjadi di lingkungan sekolah mulai terdengar. Anak-anak dari kelompok minoritas agama atau kepercayaan sering menjadi sasaran perundungan, baik secara verbal maupun sosial. Salah satu contohnya adalah anak-anak dari kelompok penghayat kepercayaan yang menghadapi stigma buruk di sekolah maupun masyarakat.

Pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya berangkat dari rasa ingin tahu justru berubah menjadi alat untuk menghakimi:  

“Kenapa kamu nggak pakai kerudung? Kamu Kristen ya?”

“Kamu ibadah pakai sesajen? Dasar kafir!”

Kalimat-kalimat seperti ini mungkin terdengar ekstrem, tapi kenyataannya, inilah yang terjadi. Lebih menyedihkan lagi, anak-anak yang seharusnya mendapatkan edukasi tentang menghargai perbedaan justru sudah menjadi pelaku diskriminasi sejak dini mungkin tanpa mereka sadari karena meniru pola pikir dan ucapan orang dewasa di sekitar mereka.

Foto Pelatihan kampanye Biar Tenang x Social Connect Generasi Anti-Bullying

Hal ini menggerakkan hatiku. Aku sadar bahwa aktivitas lintas iman dan kampanye anti-bullying harus berjalan beriringan. Perundungan berbasis perbedaan agama atau kepercayaan bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga cerminan dari kurangnya pemahaman akan keberagaman. Oleh karena itu, aku ingin mendorong lebih banyak gerakan dan aktivitas yang mempromosikan toleransi serta menolak segala bentuk perundungan berbasis identitas di Indonesia.

Harapanku, ruang-ruang aman yang ada saat ini tidak hanya menjadi tempat berlindung, tetapi juga menjadi wadah refleksi dan edukasi. Sistem pendidikan di Indonesia, yang masih cenderung berbasis ajaran mayoritas, perlu membuka lebih banyak ruang untuk mengenal dan memahami perbedaan. Sebab, ketika kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memahami satu sama lain sejak kecil, stigma akan terus tumbuh, merusak makna toleransi, dan pada akhirnya mengancam keberagaman yang seharusnya kita rawat bersama.

Bangun Generasi Indonesia Tanpa Bullying!


Share On Your Social Media
Jo Caste
Jo Caste
Articles: 5

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *