Sejujurnya, saya tidak pernah benar-benar memahami kenapa kolom agama di KTP harus ada. Setelah memiliki teman dan kenalan yang ragam identitas agama, bahkan yang tidak beragama sekalipun, saya menjadi sadar, bahwa kolom agama di KTP selain menjadi Identitas warga negara, juga dapat menjadi alat diskriminasi negara pada rakyatnya.
Apalagi dengan konsep moderasi beragama yang dibawakan pemerintah, yang katanya menjadi salah satu aspek penting agar toleransi dapat tumbuh di masyarakat. Moderasi beragama yang datang katanya membawa keseimbangan, toleransi, dan sikap Inklusif dalam kehidupan beragama serta berbangsa. Tapi bagaimana jika ternyata yang tidak inklusif adalah negara itu sendiri?, yang masih membeda bedakan orang adalah negara itu sendiri?, yang masih menyampingkan kelompok masyarakat dari masyarakat yang lain adalah negara itu sendiri?, bagaimana moderasi beragama dapat dijalankan jika dalam hal administrasi seperti KTP saja masyarakat indonesia masih di kotak-kotakkan dan mendapat diskriminasi?.
Agama apa saja sebenarnya yang dapat ditulis dalam kolom agama di KTP?. Seperti yang dikatakan oleh Plh. Dirjen Dukcapil Handayani Ningrum, dalam situs resmi dukcapil, dukcapil.kemendagri.go.id. “Kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga dapat diisi dengan nama agama yang ada di Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Bahkan, masyarakat yang menganut aliran kepercayaan diakui secara sah oleh negara dan dapat mencantumkan keyakinannya di kolom tersebut,” tapi apakah hal itu sudah menjamin masyarakat Indonesia yang Agamanya tidak dapat dituliskan dalam kolom KTP mendapatkan pelayanan dan mendapatkan perlakuan yang setara di Indonesia?.
Dalam kenyataannya di lapangan, kita dapat melihat bagaimana Kolom agama di KTP, yang awalnya dimaksudkan sebagai identitas administratif, secara tidak langsung telah menciptakan sekat-sekat sosial di masyarakat Indonesia. Dalam banyak situasi, label agama ini menjadi faktor yang menentukan bagaimana seseorang diperlakukan. dalam urusan pekerjaan, layanan publik, maupun interaksi sosial. Misalnya, ada kasus di mana seseorang sulit mendapatkan pekerjaan hanya karena agamanya tidak sesuai dengan mayoritas di lingkungan tertentu. Bahkan dalam hal administrasi negara, seperti pernikahan atau pembuatan dokumen hukum, kolom agama seringkali menjadi penentu yang mempersulit mereka yang keyakinannya tidak termasuk dalam enam agama yang diakui pemerintah. Lambat laun, hal ini menciptakan jarak sosial di antara kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan.
keberadaan kolom agama di KTP yang awalnya dimaksudkan sebagai identitas administratif ternyata memiliki dampak sosial yang lebih luas, bahkan mengarah pada diskriminasi terhadap kelompok tertentu. seperti masyarakat adat, dan masyarakat indonesia yang agamanya tidak dapat dicantumkan dalam KTP, kolom agama di KTP bukan hanya sekadar informasi, tetapi menjadi penghalang dalam mengakses hak-hak dasar sebagai warga negara. Kesulitan dalam pencatatan pernikahan, stigma sosial, hingga diskriminasi di lingkungan pendidikan dan pekerjaan menunjukkan bahwa sistem ini justru memperdalam ketidaksetaraan di tengah masyarakat yang seharusnya menjunjung tinggi keberagaman.
Karena itu, menurut saya, penting sekali bagi Pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan ini agar tidak lagi menjadi alat diskriminasi yang membatasi hak-hak warga negara. Jika tujuan awalnya adalah untuk mencatat identitas administratif, maka negara seharusnya tidak menggunakan kolom agama sebagai alat pembatas akses terhadap hak-hak sipil. Negara perlu menciptakan sistem yang lebih inklusif, yang menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa memaksa individu untuk mengidentifikasi diri mereka dalam kategori yang tidak mereka anut. Dengan begitu, Indonesia bisa benar-benar menjadi negbara yang menghargai keberagaman, bukan sekadar dalam semboyan, moderasi eragama bukan hanya sekedar konsep, ucapan dosen, atau menjadi pembelajaran di mata Kuliah mahasiswa saja. tetapi juga dalam kebijakan nyata yang melindungi seluruh rakyatnya. Jadi apakah penulisan agama di KTP perlu dihapuskan?