Bahasan Arfi Pandu Dinata pada Deeptalk seri keempat Nawang Wulan bersama JAKATARUB dan Iteung Gugat, menawarkan catatan menarik bagi para pegiat gerakan lintas iman
Arfi menjelaskan bahwa pada medan makna definisi agama, dapat dibagi kedalam tiga besar kategori, yaitu agama dimaknai secara popular, konsep agama dunia serta kategori agama yang lebih merangkul kompleksitas.
Dalam kacamata agama populer, orang biasa mendefinisikan agama itu meliputi hal yang lazim dimengerti, yaitu sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan. Biasanya penjelasan agama itu berpusat pada teologi, ajaran yang sistematik berbasis kitab suci atau wahyu. Agama dalam pengertian ini akan dilihat sebagai kategori nominal, suatu identitas yang tetap. Demikian pula ada imaji tentang ortodoksi yang tunggal.
Pemaknaan agama sebagai agama dunia, punya kecenderungan serupa. Dimana kita menganggap suatu agama itu terlembagakan secara mendunia. Kita pun sering menaruhkan kategori wilayah atau rasial, semisal Semitik, Dharmik, Sinistik, Iranik sering menjadi penandanya.
Jujur saja kedua pendefinisian ini sangat terpengaruh pandangan khas Ibrahimik, dalam hal ini Islam dan Kristen. Pembedaan agama langit dan agama bumi, wahyu dan budaya, sering kali menjadi bias yang kuat dari pemaknaan ini. Dimana agama Ibrahimik dijadikan prototipe untuk menilai yang lain. Sesuatu disebut agama kalau sesuai dengan prototipe tadi.
Sayangnya, pemaknaan seperti ini pun sering tanpa sadar diterapkan oleh pegiat lintas iman. Ini seolah menjadi tirani agama yang satu terhadap yang lain.
Merangkul yang kompleks
Studi Agama, menawarkan kategori ketiga, yang kompleks mencoba merangkul banyak aspek, sehingga ada keragaman pusat struktur agama. Agama tidak melulu dilihat sebagai ajaran yang utuh untuk manusia hidup. Bisa saja merangkul misalnya kultivasi diri, teknik pengobatan, dan pengalaman agama sebagai tata perilaku dan cara hidup yang dipraktikkan.
Lewat konsep kompleksitas agama, kita bisa merangkul banyak sisi. Banyak tradisi keagamaan menekankan pentingnya transformasi pribadi. Misalnya, dalam Falun Dafa, kultivasi diri melibatkan prinsip sejati, baik, dan sabar yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, serta latihan fisik dan meditasi untuk memurnikan tubuh dan memperbaiki watak.
Kalau mau jujur, aspek yang menonjol di satu agama sebenarnya terdapat pula di agama lain, meski narasinya tidak terlalu diangkat. Ambil contoh penekanan agama sebagai teknik pengobatan. Meski konsep ini kental sekali dalam Yajur Veda atau ajaran Scientologi, tapi bahkan kita pun dapat menemui hal mirip seperti ruqyah di Islam atau pelayanan pelepasan di gereja-gereja Karismatik.
Kita dapat menggali lebih jauh contoh saat menghayati agama dalam pemaknaan yang kompleks sehingga merangkul hal-hal yang selama ini kita abaikan dari agama.
Agama leluhur memiliki karakteristik khusus yang diwariskan turun-temurun, sering kali menyatu dengan alam, adat dan kebijaksanaan lokal. Ada pula konsep lived religion yang menyoroti bagaimana agama dijalani dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam bentuk doktrin atau ritual formal. Dalam praktiknya, banyak individu dan komunitas menjalani religiusitas yang sinkretik, memiliki identitas ganda atau majemuk, bahkan sekadar nominal, dimana identitas agama lebih sebagai label sosial daripada keyakinan pribadi.
Menarik juga untuk disorot bagaimana perbatasan antara agama dan kategori lain seperti kepercayaan, adat, mitos, fandom, ideologi dan filsafat, seringkali kabur. Ada banyak praktik keagamaan lokal bercampur dengan kepercayaan tradisional dan adat istiadat. Narasi mitologis juga sering menjadi bagian dari agama. Keterikatan pada tokoh, simbol, atau komunitas tertentu dalam fandom atau ideologi bisa menyerupai praktik keagamaan. Demikian pula beberapa agama lebih menekankan aspek filsafat hidup dan refleksi moral daripada ritual formal.
Mendefinisikan agama dengan kompleks seperti ini akan membantu kita, baik dalam studi agama maupun gerakan lintas iman. Agar kita terhindar dari kebiasaan menganggap keyakinan kita universal dan mengabaikan keunikan yang lain. Agar kita selalu bisa terbuka tidak gegabah membatasi makna agama.