Agama, dalam esensinya, adalah jalan spiritual yang menjanjikan kedamaian, keadilan dan kesetaraan. Namun, dalam sejarah panjangnya, agama sering disalahgunakan sebagai alat melanggengkan kekuasaan, menindas kelompok tertentu, terutama perempuan. Kita sering mendengar tentang keindahan agama, tentang cinta kasih, kedamaian dan keadilan yang diajarkannya. Tapi, bagaimana ia justru menjadi sumber air mata? Bagaimana jika kitab suci malah digunakan untuk membenarkan penindasan?
Beginilah “perempuan pemeluk pilu, mereka yang terperangkap dalam jerat interpretasi agama bias gender. Mungkin bukan agamanya yang salah, tapi interpretasi manusia yang seringkali khilaf.
Ketika ayat menjadi alat penindas
Di banyak komunitas, ayat-ayat suci ditafsirkan secara selektif melanggengkan kekuasaan laki-laki dan menindas perempuan. Beberapa contoh antara lain soal dominasi dalam keluarga. Ayat tentang kepemimpinan laki-laki dalam keluarga kerap disalahartikan sebagai hak mendominasi dan mengontrol perempuan. Perempuan dianggap subordinat, tidak memiliki hak bersuara atau mengambil keputusan.
Kadang hal ini juga berimbas pada pembatasan ruang publik. Perempuan dilarang berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan politik dengan alasan menjaga “kesucian” atau “kehormatan” keluarga. Ruang gerak perempuan dibatasi di ranah domestik.
Contoh lain adalah standar ganda moralitas. Perempuan dituntut untuk menjaga kesucian dan kehormatan keluarga, sementara laki-laki seringkali dibebaskan dari tuntutan serupa. Pelanggaran moralitas oleh perempuan dihukum lebih berat daripada laki-laki.
Ini pula yang sering berujung pada pembenaran kekerasan. Ayat-ayat yang mengatur hubungan suami istri seringkali disalahgunakan untuk membenarkan kekerasan dalam rumah tangga. Istri dianggap sebagai “milik” suami yang boleh diperlakukan semena-mena.
Lebih berat ini berimbas pada penghilangan suara perempuan. Perempuan dilarang menafsirkan kitab suci atau memimpin kegiatan keagamaan. Suara dan pengalaman perempuan diabaikan dalam wacana keagamaan.
Luka yang menganga
Perempuan mengalami depresi, kecemasan serta trauma akibat kekerasan dan diskriminasi. Harga diri dan kepercayaan diri mereka hancur. Selain itu, perempuan juga kehilangan kemandirian ekonomi karena dilarang bekerja atau mengenyam pendidikan. Mereka terpaksa bergantung pada laki-laki dan rentan terhadap eksploitasi.
Perempuan juga seringkali merasa terisolasi dan tidak memiliki tempat untuk berbagi pengalaman mereka. Malu dan takut untuk mencari bantuan. Perempuan kehilangan identitas diri mereka karena terus-menerus ditekan mengikuti norma yang tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Mereka merasa tidak memiliki hak menjadi diri sendiri. Bahkan dalam kasus ekstrem, perempuan menjadi korban pembunuhan demi “kehormatan” keluarga atau agama.
Harapan di balik air mata
Di tengah pilunya pengalaman, masih ada harapan dan kekuatan untuk bangkit, yaitu dengan interpretasi alternatif. Munculnya gerakan feminis teologi yang menafsirkan kitab suci dengan perspektif yang adil gender dan inklusif. Kemudian adanya komunitas dukungan: terbentuknya kelompok-kelompok perempuan yang saling mendukung, berbagi pengalaman, dan membangun kekuatan bersama.
Yang patut digarisbawahi juga upaya advokasi kebijakan demi mereformasi aturan yang diskriminatif terhadap perempuan serta memastikan akses keadilan bagi korban. Demikian pula peningkatan akses pendidikan dan pemberdayaan, untuk meningkatkan kemandirian ekonomi dan sosial mereka. Serta kampanye untuk kesadaran publik: peningkatan kesadaran publik tentang adanya ketidakadilan gender dan pentingnya kesetaraan hak.
Perempuan pemeluk pilu adalah potret buram ketidakadilan yang masih menghantui banyak perempuan di dunia. Agama seharusnya menjadi sumber kekuatan dan inspirasi, bukan sumber air mata dan penderitaan. Mari bersama-sama mengubah narasi ini, memastikan bahwa agama menjadi alat pembebasan, bukan penindasan.
Kita dapat berupaya untuk mengedukasi diri, mempelajari lebih lanjut feminisme teologi, interpretasi agama yang adil gender. Penting juga untuk mendukung inisiatif lokal menemukan dan membantu komunitas yang bekerja untuk kesetaraan gender.
Jangan takut bersuara untuk mempertanyakan interpretasi agama yang bias gender dan mendukung perempuan yang menjadi korban ketidakadilan. Sebarkan narasi agar lingkungan kita berpartisipasi dalam perubahan. Yang terpenting lakukan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari untuk mendukung kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan.