“Tak ada yang salah dengan prasangka, sepanjang ada kesadaran untuk keterbukaan…”
Dalam banyak kesempatan, entah sebagai kegiatan terpisah atau bagian dari camp, AKATARUB menggelar momen yang disebut sebagai Cafe Religi. Sederhananya, ada pos-pos agama dimana orang bebas bertanya segala topik tentang agama tersebut. Para pengisi pos biasanya adalah pemimpin agama (biasanya yang usianya agak muda dan terbilang komunikatif), sementara para pengunjungnya beragam. Mulai dari pelajar, mahasiswa hingga masyarakat umum.
Spontanitas yang interaktif seperti itu selalu menarik. Terkadang ada pertanyaan yang cukup urakan, ada pula yang sangat filosofis. Namun ada juga yang sudah bisa kita tebak kalau kita rajin melihat bahasan diskusi atau malah debat lintas agama.
Di pos Islam misalnya, orang beragama lain sering bertanya terkait persoalan poligami, pengertian jihad dan kaitannya dengan terorisme, soal posisi perempuan dalam agama atau mengapa perbedaan antara Sunni, Syiah dan Ahmadiyah itu kesannya begitu penuh kebencian?
Tapi ada saja yang bertanya hal-hal kecil semisal kenapa harus cukur rambut dan potong kambing. Atau pertanyaan nyeleneh semisal: Apa memang benar di masjid sandal suka hilang? Di pos Kristiani, seringkali umat Islam sangat senang bertanya yang lebih teologis semisal soal Trinitas dan keilahian Yesus. Namun ada saja yang unik semisal: Kenapa para pastur, biarpun ganteng, memilih jomblo? Seunik pertanyaan di pos Khonghucu: Apakah umat Khonghucu memang diajarkan untuk pintar dagang?
Beda lagi di pos penghayat kepercayaan. Kebanyakan penasaran apa sebenarnya yang diyakini rekan-rekan penghayat, sebab penanya nyaris tidak punya gambaran soal itu. Tak jarang pula pertanyaan asumtif semisal kitab suci dan nabinya siapa, muncul dengan spontan.
Kemunculan pertanyaan-pertanyaan itu mestilah dirangkul dengan wajar. Tidak perlu buru-buru diluruskan dengan semangat apologetik. Semua yang dimunculkan itu adalah produk dari prasangka yang berkembang di masyarakat, yang terkadang malah lebih sering dihindari untuk ditanyakan secara bebas. Walhasil, mempertebal tembok yang menghambat dialog tulus.
Yang jauh lebih penting justru adanya ruang perjumpaan yang memungkinkan kita memunculkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam suasana terbuka. Tanpa penghakiman, tanpa permusuhan.
Para peserta dalam Cafe Religi sering mengakui, tanya-jawab di ruang seperti itu biasanya tidak langsung tuntas menjawab penasaran, tapi memberi pengalaman segar terkait perjumpaan. Kali pertama mereka dimungkinkan menanyakan itu dengan langsung, jujur, tanpa khawatir akan ketersinggungan.
Sebaliknya buat narasumber yang mengisi, momen itu juga menjadi hal unik. Mereka beroleh gambaran sejauh mana keyakinan mereka diketahui atau dipersepsikan oleh masyarakat beragama lain. Bisa jadi ini kesempatan reflektif untuk mereka mengembangkan dialog, serta sikap dan kegiatan komunitas yang lebih dialogis menghadapi prasangka. Saatnya kita bisa jujur dan mengkonfirmasi prasangka.