Buana Dengdeng Agem, Sumilih Jelema Teu Nyampak

Share On Your Social Media

Refleksi Teologis Pengurus JAKATARUB terhadap Peran Lembaga Keagamaan Mengelola Pertambangan Batubara.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 memberi kesempatan baru dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Kini, izin usaha pertambangan khusus batubara boleh diberikan kepada organisasi keagamaan. 

Upaya membuka konsesi ini, dinilai sejumlah pihak, merupakan wujud dari pelemahan terstruktur atas demokrasi dan pelestarian lingkungan. Agama yang termanifestasi dalam institusinya semestinya menyentil penguasa dan menjadi teladan untuk memelihara alam. Bukan dilemahkan dengan imbalan usaha yang berpotensi merusak lingkungan. 

Di tengah hiruk-pikuk polemik ini, kami mengajak untuk kembali mengenali bagaimana agama dan kepercayaan lokal kita selalu erat terkait pelestarian alam. Dalam spiritualitas penghayat, masyarakat adat dan penganut agama leluhur, tanah adalah ibu yang wajib dijaga, dilestarikan dan dihormati. Tidak boleh sewenang-wenang menjual, apalagi merusaknya. Sebab hutan, gunung, sungai dan segala isinya banyak menafkahi hajat manusia. 

Gunung teu meunang dilebur. Lebak teu meunang dirusak. Gunung tak boleh dihancurkan, rawa tak boleh dirusak. Demikian salah satu tuah dalam tradisi Sunda. Spiritualitas ini memandang alam semesta sebagai hal sakral dan bermakna. 

Raga manusia dibentuk dari saripati alam: angin, air, tanah, dan api. Unsur-unsur ini diperoleh melalui pernapasan dan makan-minum. Alam juga merupakan sumber segala ilmu termasuk ilmu keagamaan dan spiritualitas. Maka, alam semesta dengan segala isinya disebut sebagai Sastra-Jendra-Ayu-Ning-Rat (tulisan Hyang Maha Agung untuk keselamatan apabila benar melaksanakannya). 

Hubungan manusia dengan alam bukan dari sisi lahir saja, namun secara batin memiliki relasi spiritual yang lekat. Tetumbuhan dan hewan pada dasarnya tidak berbeda dengan manusia karena beroleh saripati alam yang sama, berasal dari Tuhan.

Agama yang hadir sebagai pengalaman batin dan rasa dari setiap individu kemudian disalurkan melalui organisasi keagamaan. Karenanya, organisasi keagamaan seharusnya menjadi perpanjangan tangan pengalaman batin dan perasaan individu tadi. Organisasi keagamaan harus selaras dengan ajaran yang penuh dengan kesadaran akan lestari lingkungan dan terdorong menolak segala bentuk eksploitasi alam.

Agama, khususnya kepercayaan lokal, mengajarkan bahwa alam adalah manifestasi dari tubuh manusia, bagian dari hidup kita. Alam telah memberi segelintir ‘hartanya’ cuma-cuma, jangan sampai manusia – atas nama agama – malah memperkosa alam. Itu kualat besar, sumber maha malapetaka.

Spiritualitas lokal sangat tegas mengingatkan kita soal itu. Buana dengdeng agem, sumilih jelema teu nyampak. Alam akan tetap berdendang, meski manusia binasa. Lamun alam euweuh jelema, alam mah teu nanaon. Mun jelema euweuh alam, jelema bisa naon? Alam tanpa manusia tetap akan ada. Namun, apa jadinya manusia, bila alam tiada? 

Penulis : Venus Nareswari, Indra Anggara, Sabahuddin


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 160

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *