Siapa yang “Lebih” Nasionalis?

Share On Your Social Media

Media sosial kemarin diramaikan postingan burung garuda dengan latar belakang biru bertuliskan “Peringatan Darurat.” Disusul dengan aksi masyarakat sipil menyuarakan demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Musababnya adalah DPR berencana merevisi UU Pilkada dengan mengubah putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Respon masyarakat ini penting diapresiasi. Menggambarkan kemuakan pada tindakan menabrak aturan dan hanya menguntungkan golongan tertentu.

Akhirnya revisi UU Pilkada ini dibatalkan dan menyesuaikan dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Namun, batalnya pengesahan revisi UU Pilkada harus dibayar cukup mahal. Sesaknya gas air mata, aktivis yang kena “bogem”, bahkan ada yang mengalami kebutaan permanen sebelah akibat tindakan represif yang dilakukan oleh aparat negara, merupakan hal yang harus dirasakan oleh pengusung aksi. Pelaku aksi protes dipersepsikan sebagai pengacau negara. Tidak nasionalis.

Melihat peristiwa ini membawa kita pada pertanyaan:“Siapa sebenarnya yang nasionalis?” Apakah mereka yang berseragam, bersenjata dan bertameng yang melakukan tindakan represif kepada para ‘demonstran’ dapat yang nasionalis? Atau justru malah yang lebih nasionalis adalah mereka yang melakukan aksi unjuk rasa, mereka yang peduli dengan situasi demokrasi negara yang dipermainkan oleh kalangan elit?

Sayangnya, kepedulian massa tidak dianggap hal yang serius. Malah dilihat sebagai tindakan anarkis, tidak nasionalis. Lebih parahnya, tindakan represif aparat seolah memberikan stigma bahwa para demonstran adalah ‘musuh’ negara, saking banyaknya para massa aksi unjuk rasa yang ditangkap dan dibawa ke kantor kepolisian.

Represi ini sudah seharusnya dihentikan sejak lama, mengingat falsafah bangsa Indonesia. Kita bisa lihat pada pembukaan UUD 1945, diksi “peri kemanusiaan” disimpan pada bait pertama, yang memberitahu kepada kita semua bahwa segala bentuk tindakan harus dilakukan atas dasar kemanusiaan. Tidak melakukan tindakan yang membabi-buta dengan mengeroyok, apalagi yang dihadapi adalah masyarakat sipil yang ‘tidak bersenjata’.

Apakah hari ini segala bentuk tindakan protes terhadap kebijakan negara dimaknai sebagai ancaman oleh para tuan-puan ini? Membungkam protes sangat bertentangan dengan dasar negara. Poin kedua Pancasila jelas menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan kemanusiaan yang ‘kerdil’ dan ‘biadab.’ Juga sila keempat yang menekankan segala bentuk tindakan negara harus dilakukan dengan hikmat, bijaksana dan bermusyawarah, bukan atas dasar instruksi dari ‘atasan’.

Maka, semua aksi protes atas ketidakadilan dan penyimpangan dasar negara adalah sahih. Para pemrotes yang menentang pelanggaran konstitusi, kebijakan yang tidak adil, pembatasan kebebasan sipil, diskriminasi rasial, ketidaksetaraan gender, perusakan lingkungan, penghalangan kebebasan beragama, pengabaian isu kemanusiaan dan banyak protes lain justru sangat nasionalis.

Editor : Risdo Simangunsong


Share On Your Social Media

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *