Sejak awal 2021 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim berkali-kali menegaskan komitmen untuk menghapuskan tiga dosa besar pendidikan di Indonesia. Istilah tiga ‘dosa besar’ dipakainya untuk menggambarkan betapa intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual merupakan hal yang berlangsung cukup parah dan perlu strategi sistemik untuk mengatasinya.
Implementasi dari komitmen itu terlihat dalam sejumlah aturan dan program. Kita bisa menyebut misalnya, Permendikbudriset 30/2021 yang mendorong upaya pencegahan kekerasan seksual. Demikian pula kampanye anti-bullying yang masuk dalam banyak program sekolah (misal ramah anak, inklusif, dll) serta bekerja sama dengan banyak praktisi pendidikan dan disosialisasikan secara massif. Meski banyak tantangan, setidaknya kita bisa mengatakan sang menteri dan jajaran cukup serius menyorot perkara kekerasan seksual dan perundungan.
Akan tetapi ‘dosa’ intoleransi agaknya didekati berbeda. Alih-alih membuat kategori dan ciri yang jelas dari intoleransi di dunia pendidikan, atau membentuk tim dan panduan yang komprehensif, permasalahan ini banyaknya didekati secara kasuistik atau secara umum dengan membuat modul wawasan kebangsaan. Lebih berupa anjuran untuk toleran ketimbang mengakui dan menguliti dosa intoleransi-nya untuk diperbaiki.
Padahal, kalau mau jujur, intoleransi dalam dunia pendidikan jelas terlihat. Dalam diskusi bersama pegiat pendidikan dan pemerintah di Bandung Raya, Kamis lalu (22/08/2024), lewat kilasan singkat saja, para peserta, pegiat dan pengamat pendidikan setidaknya bisa mendaftar lima bentuk intoleransi yang sangat lazim terjadi di lingkungan pendidikan, terutama sekolah dan kampus negeri.
Kelima hal tersebut adalah: minimnya fasilitasi pendidikan keagamaan untuk siswa beragama selain Islam; pemaksaan busana; perundungan terkait keyakinan agama; favoritisme dan infiltrasi berlebihan ajaran agama mayoritas di mata pelajaran; serta minimnya pemahaman inklusif dan toleran dari para pendidik.
Daftar itu sangat mudah disusun karena data kasusnya terbilang melimpah. Seringkali jadi dianggap hal yang lumrah. Kelompok yang mengalami tindakan intoleransi di lingkungan pendidikan – semisal untuk kasus Bandung Raya rekan Penghayat, Kristen, Hindu atau rekan Ahmadiyyah dan Ahlul Bait – sering memilih untuk pasrah menerimanya sebagai kenyataan.
Lebih jauh, sebenarnya ada permasalahan intoleransi yang sistemik. Minimnya fasilitasi pendidikan keagamaan kelompok marginal atau persepsi yang salah tentang agama yang diyakini kelompok minoritas yang dipertahankan dalam mata pelajaran, harus diakui merupakan hal yang disengaja dalam kebijakan pemerintah. Ini bukan semata perkara kurangnya sumber daya atau pengetahuan.
Pengakuan akan dosa intoleransi ini, sebagaimana pengakuan atas kekerasan seksual dan perundungan, tampaknya jauh lebih penting sebagai langkah awal pertobatan. Tidak semata menghindarinya dengan memberi anjuran-anjuran untuk toleran.