Kebijakan negara semestinya dapat mengakomodir semua golongan, termasuk kelompok rentan (keagamaan). Sejauh ini, keberpihakan itu masih kurang terlihat, secara khusus dalam banyak kasus kelompok rentan keagamaan yang selalu menjadi korban. Kita bisa menyebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), umat Kristiani, juga kelompok agama lokal yang kerap mendapatkan diskriminasi dan persekusi.
Beberapa waktu sebelum pelantikan presiden Prabowo, sempat naik kabar Raperpres Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sudah berada di meja Presiden Jokowi, menunggu ditandatangani untuk kemudian disahkan menjadi kebijakan pengganti PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9/8 Tahun 2006. Aturan ini diharapkan dapat menjadi angin segar untuk kelompok rentan keagamaan dalam upaya mendirikan rumah ibadah.
Sayangnya, perubahan yang diusulkan dalam Raperpres PKUB ini tidak signifikan. Sebagai contoh terkait izin pendirian rumah ibadah. Memang ada contoh alur birokrasi yang diperpendek, dimana awalnya memerlukan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), kini syarat tersebut dihilangkan. Akan tetapi sumber permasalahan yang selama ini menjadi penghambat dalam melengkapi izin tersebut tidak disasar sama sekali.
Kita bisa melihat dalam pedoman pendirian rumah ibadat yang tetap mencantumkan persetujuan 90 pengguna rumah ibadat dan 60 warga sekitar serta surat keterangan domisili yang dikeluarkan oleh pejabat setempat tetap dicantumkan dalam Raperpres PKUB. Jika boleh, ada pertanyaan sedikit mengenai ini, siapa yang pertama kali mengusulkan angka 90/60 ini? Dan mengapa angka ini begitu sangat sakral, sehingga tidak bisa diganggu gugat?
Ada pengaturan yang cukup progresif – walaupun memang sudah seharusnya – yang mencantumkan harus ada keterwakilan perempuan di FKUB. Akan tetapi, tidak ada ketentuan jelas berapa persen jumlah keterwakilan perempuan dalam keseluruhan anggota FKUB. Hal ini tidak akan mengubah wajah FKUB dalam hal mengurusi persoalan kerukunan yang cenderung didekati secara ‘maskulin’.
Melihat lebih jauh, mestinya penyelenggara negara berperan aktif untuk memfasilitasi kebutuhan umat beragama, termasuk dalam hal pendirian rumah ibadah.
Diksi “izin” pun sangat terdengar geli, karena membangun atau mendirikan rumah ibadat di pekarangan sendiri harus memerlukan izin. Bukan masalah diizinkan atau tidak, tapi permasalahan komunikasi dengan warga sekitar. Bukankah selama ini juga angka 90/60 ini yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pendirian rumah ibadah? Sudah saatnya persyaratan ini dibatalkan dan penyelenggara negara memfasilitasinya.