Kekerasan seksual terus menjadi bayang-bayang kelam dalam masyarakat kita. Tidak hanya merampas hak dasar korban atas tubuh dan martabatnya, kekerasan ini sering kali berujung pada trauma yang berkepanjangan, stigma sosial, hingga kematian. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 yang dirilis oleh Komnas Perempuan, terdapat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun tersebut. Di balik angka-angka ini terdapat cerita penderitaan yang jarang mendapatkan keadilan.
Pertanyaannya adalah, mengapa upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual berjalan lamban? Apakah narasi yang berkembang dalam masyarakat, termasuk yang bersumber dari tafsir agama, justru menjadi penghambat utama dalam mencari keadilan bagi korban? Narasi keagamaan dalam masyarakat sering kali dijadikan alat untuk menyudutkan korban. Perempuan kerap kali dilabeli sebagai “penggoda” atau “sumber dosa,” di mana tanggung jawab atas tindakan pelaku dialihkan kepada mereka. Kritik utama terhadap narasi ini adalah sifatnya yang diskriminatif dan tidak berbasis pada realitas.
Misalnya, konsep kesucian sering kali dilekatkan pada pakaian atau perilaku perempuan. Ketika terjadi kekerasan seksual, korban disalahkan karena dianggap “mengundang.” Namun, apakah narasi semacam ini berdasar? Data menunjukkan bahwa kekerasan seksual terjadi di berbagai konteks, termasuk pada anak-anak, lansia, atau perempuan yang mengenakan pakaian “tertutup.” Lalu, apakah alasan agama benar-benar relevan untuk menyalahkan korban?
Tafsir Agama yang Patriarkal vs. Nilai Inti Agama
Beberapa tafsir agama sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Dalam tradisi tertentu, perempuan diwajibkan menjaga aurat dan moralitas masyarakat. Jika gagal, mereka dianggap pantas menerima kekerasan. Namun, jika kita menelusuri lebih jauh, muncul pertanyaan mendasar: apakah tafsir seperti ini benar-benar mencerminkan pesan keadilan yang diusung oleh agama?
Lebih jauh lagi, mengapa tanggung jawab untuk mencegah kekerasan hampir selalu dibebankan kepada perempuan, sementara pelaku justru jarang disentuh oleh kritik agama yang sama kerasnya? Apakah pembebanan ini tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga melanggengkan struktur patriarki yang menindas perempuan? Tafsir seperti ini tidak hanya merugikan perempuan secara individu, tetapi juga memperkuat sistem sosial yang secara sistematis meminggirkan mereka dari keadilan dan perlindungan.
Jika kita kembali kepada nilai inti agama, justru ajarannya mengedepankan keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam Islam, misalnya, Al-Qur’an (QS. Al-Isra: 15) menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Narasi ini semestinya menolak pembenaran atas tindakan pelaku dan tidak membebankan dosa kepada korban.
Demikian pula dalam Kristen, kisah perempuan yang hendak dirajam (Yohanes 8:1-11) menekankan bahwa dosa adalah tanggung jawab personal, bukan kolektif yang dibebankan kepada perempuan. Bahkan, prinsip ahimsa dalam Hindu mengajarkan penghormatan terhadap semua makhluk dan mengutuk segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Namun, mengapa pesan-pesan ini tidak menjadi bagian dominan dari narasi agama di masyarakat?
Mengakhiri Diskriminasi: Mengembalikan Agama ke Nilai Intinya
Narasi agama yang adil dan berempati dapat menjadi alat transformasi sosial yang kuat. Bagaimana agama dapat berperan dalam mendukung korban secara spiritual dan praktis, serta mengadvokasi perubahan struktural? Tentu, ini tidak hanya soal teks atau tafsir, tetapi keberanian moral untuk menantang status quo. Sebagai masyarakat yang religius, sudah saatnya kita bertanya:
Apakah narasi agama yang saat ini berkembang telah digunakan untuk memberdayakan korban atau justru membungkam mereka? Jika narasi yang diusung cenderung menyalahkan korban, bukankah ini bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama seperti keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia?
Kritik terhadap narasi agama yang menyudutkan korban bukanlah serangan terhadap agama itu sendiri, melainkan upaya untuk mengembalikan agama pada esensinya: membela keadilan dan menghormati martabat manusia. Jika tafsir agama tidak berpihak pada korban, bukankah sudah saatnya kita mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh narasi tersebut?
Mengapa Pemimpin Agama Harus Bertindak?
Konteks kekerasan seksual dalam masyarakat menunjukkan bahwa narasi agama seringkali menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, ajaran agama memiliki potensi untuk memberikan keadilan dan kasih sayang, tetapi di sisi lain, interpretasi yang bias dapat memperkuat stigma terhadap korban. Dalam situasi seperti ini, pemimpin agama memiliki posisi yang sangat strategis.
Sebagai figur yang dihormati dan dipercaya dalam menyampaikan ajaran, mereka memiliki pengaruh besar untuk membentuk persepsi masyarakat, termasuk dalam menepis mitos-mitos tentang kekerasan seksual yang merugikan korban.
Pemimpin agama memiliki otoritas moral yang kuat dan dapat menjadi agen perubahan dengan menekankan nilai-nilai agama seperti keadilan, empati, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dengan meluruskan pemahaman keliru, seperti narasi yang menyalahkan korban kekerasan seksual, mereka mendidik masyarakat untuk berpikir lebih kritis dan manusiawi.
Mereka dapat menegaskan bahwa agama sejatinya mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, yang mana kekerasan seksual sama sekali tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Keberanian pemimpin agama untuk menyuarakan hal ini sangat penting dalam melawan narasi yang tidak adil dan membangun budaya empati yang lebih kuat di masyarakat.
Apakah para pemimpin agama siap untuk meninggalkan tafsir lama yang diskriminatif demi menciptakan narasi yang lebih inklusif dan berempati?
Penulis : Arianti Apriani Sagita