Memilih untuk tidak memilih agama di Indonesia merupakan suatu hal yang sulit, bahkan hampir tidak mungkin diakui keberadaannya oleh Negara. Lantaran ketika menyatakan diri untuk tidak memilih salah satu dari sekian banyak pilihan agama akan dianggap ateis, menjadi ateis berarti seorang komunis, dan komunisme harus ditumpas karena bertentangan dengan Pancasila. Padahal kita tahu, kalau memilih untuk tidak beragama tidak selalu menjadi Ateis, apalagi komunis.
Perlu digaris bawahi, memilih untuk ‘tidak beragama’ merupakan sebuah sikap atau keyakinan untuk tidak berafiliasi ataupun menganut agama tertentu. Bentuknya bisa beragam, mulai dari agnostik, atheisme, dan banyak lagi. Tentu keberadaannya sangat perlu untuk di hormati, bahkan hak-hak sebagai warga negara wajib dijamin oleh penyelenggara negara.
Kemudian belum lama ini kita mendapatkan kabar tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pembacaan putusan terkait permohonan uji materiil nomor perkara 146/PUU-XXII/2024 terhadap pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pembacaan putusan itu, MK mewajibkan masyarakat untuk memeluk agama tertentu, yang berarti tidak memberi ruang bagi warga negara untuk tidak memeluk agama.
Padahal dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (KBB), sebagaimana dijamin mulai dari Undang-undang Dasar (UUD) 1945, hingga ratifikasi kovenan internasional hak-hak sipil dan politik (ICCPR) menjadi UU No. 12 tahun 2005 setiap orang berhak untuk memeluk, tidak memeluk atau mengubah suatu agama atau keyakinan.
Hal ini tentu menjadi upaya pengkerdilan harkat dan martabat manusia yang dilakukan oleh negara. Lantaran kita akan menemukan setiap warga negara yang memilih untuk tidak beragama akan mendapatkan perlakuan-perlakuan yang diskriminatif atas apa yang menjadi pilihan hidupnya.
Pun demikian dengan beberapa ajaran-ajaran agama, yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama, dan agama tidak boleh mendiskriminasinya. Justru sebaliknya agama harus mampu merangkul, sebagai upaya dari aktualisasi atau praktik ajaran agama yang mengajarkan nilai-nilai cinta kasih dan kemanusiaan.
Hal ini hanyalah sebagian kecil dari upaya-upaya agama dalam menerima keberadaan manusia yang memilih untuk tidak memilih agama sebagai perahu yang mengantarkannya pada tujuan hidup. Jika agama saja bersikap memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menentukan pilihan hidupnya, lantas kenapa manusia yang beragama mentangnya? Lebih parah lagi jika penyelenggara negara yang melakukannya.