Dalam diskusi filsafat politik modern, dua nama besar yaitu Karl Popper dan John Rawls menawarkan perspektif berbeda tentang toleransi yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi mendasar dan mendalam yang mencerminkan fokus dan pendekatan unik masing-masing pemikir.
Karl Popper, dalam bukunya The Open Society and Its Enemies (1945), memperkenalkan gagasan paradoks toleransi. Ia berpendapat bahwa toleransi yang tidak memiliki batas justru akan menghancurkan dirinya sendiri.
Jika masyarakat sepenuhnya toleran terhadap pandangan yang intoleran, pandangan tersebut dapat tumbuh dan akhirnya menghilangkan toleransi itu sendiri.
Oleh karena itu, Popper mengusulkan bahwa masyarakat harus bersikap tidak toleran terhadap intoleransi, terutama ketika intoleransi tersebut mengancam tatanan sosial yang bebas dan demokratis. Baginya, toleransi bukan sekadar menerima semua pandangan, tetapi juga melibatkan tindakan melindungi prinsip-prinsip dasar demokrasi dari ancaman ekstremisme.
Berbeda dengan Popper, John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1971) menawarkan pandangan toleransi dalam konteks keadilan sebagai keadilan distributif.
Rawls menekankan pentingnya “kesetaraan yang adil untuk semua.” Dalam sistem Rawls, masyarakat pluralis harus menerima keberagaman pandangan moral dan agama, selama pandangan tersebut berada dalam batas “reasonableness” atau kewajaran.
Rawls menghindari pendekatan represif terhadap intoleransi, dan lebih fokus pada membangun struktur masyarakat yang memberikan kesempatan yang setara kepada semua individu untuk hidup sesuai dengan nilai dan kepercayaan mereka, selama tidak melanggar hak orang lain.
Toleransi, menurut Rawls, harus menjadi dasar untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat yang kompleks dan beragam.
Dari perbedaan ini, terlihat bahwa Popper lebih menekankan pada perlindungan aktif terhadap tatanan sosial dari ancaman intoleransi, sementara Rawls lebih fokus pada menciptakan sistem keadilan yang memungkinkan semua individu hidup berdampingan secara damai.
Keduanya menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana masyarakat dapat mengelola keberagaman, meski dengan pendekatan yang berbeda.
Perdebatan ini mengingatkan kita bahwa toleransi bukanlah konsep sederhana, melainkan prinsip yang membutuhkan pemikiran mendalam dan penerapan yang bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi kamu ada diposisi yang mana?.
Penulis : Fadhil Reyhan