Kapolresta Bandung, Kombes Polisi Kusworo Wibowo beserta jajarannya telah melakukan upaya fasilitasi bagi jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Soreang untuk melakukan ibadah di Aula Sabilulungan Polresta Bandung, Jl Bhayangkara No 1, Soreang selama tiga minggu terakhir sejak 4 Juni 2023.
Langkah ini perlu diapresiasi sebagai upaya menjamin hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) setiap warganya. Dikabarkan dalam WMN News, jajaran pemerintah Kabupaten Bandung bersama Polresta juga turut mengawal proses perizinan yang sedang diproses.
Sebelumnya, GBI Soreang menggunakan tempat di komplek Bumi Parahyangan Kencana, Soreang untuk memfasilitasi kebutuhan umat Kristen yang tinggal di sana termasuk peribadatan. Akan tetapi, beberapa kelompok masyarakat memprotes penggunaan bangunan tersebut dengan alasan itu bukan bangunan gereja, sehingga tidak layak digunakan untuk ibadah.
Persoalan Tempat Ibadah di Kabupaten Bandung
Salah satu problematika yang cukup menahun bagi umat Kristiani di Kabupaten Bandung adalah terkait tempat ibadah. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2021 mencatat jumlah warga Kabupaten Bandung yang beragama Protestan berjumlah 180. 865 jiwa, ditambah umat Katolik sebanyak 12.132 jiwa. Tempat ibadah umat Kristen pada tahun 2020 hanya berjumlah 12 unit gereja Protestan dan 2 unit gereja Katolik. Jumlah tersebut pun masih belum dapat dikonfirmasi kembali, mengingat data IMB Gereja yang tidak banyak dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dan tidak menyebut nama gereja.
Dalam hitungan aktivis KBB Bandung, nampaknya hanya dua gereja Protestan dan dua gereja Katolik yang saat ini memiliki gedung ibadah permanen di Kabupaten Bandung. Dapat dikatakan kebutuhan spiritualitas keagamaan umat Kristiani di Kabupaten Bandung yang hampir dua ratus ribu jiwa belum atau bahkan tidak terpenuhi.
Ini baru dari segi proporsi, belum lagi jika mempertimbangkan umat Protestan memiliki banyak denominasi dan organisasi yang membutuhkan fasilitasi berbeda. Bagi umat Protestan, menjadi anggota salah satu organisasi gereja merupakan hal penting, karena akan berdampak pada urusan administrasi seperti pencatatan kelahiran, perkawinan dan kematian. Fenomena ini adalah keniscayaan yang harus dianggap sebagai keragaman entitas, tidak dapat digeneralisasi dan harus dilihat secara dalam dan komprehensif.
Saat ini ada belasan gereja di Kabupaten Bandung yang sudah cukup lama memproses IMB Rumah Ibadah dan belum mendapatkan haknya. Beberapa diantaranya adalah HKBP Rancaekek, GKI Bajem Rancaekek, GKP Dayeuh Kolot, GBI Soreang, GKP Katapang, GKP Ciwidey, GPdI Rancaekek, GPdI ABRA, Stasi Cinunuk, HKI Bandung Selatan, dll. Beberapa gereja tersebut seperti GKP Dayeuh Kolot bahkan telah berusia 30 tahun lebih dan telah mengurus perizinan sejak 20 tahun lalu.
Ronny, jemaat GKP Dayeuhkolot menyampaikan banyak kendala yang dihadapi saat proses mengurus IMB sesuai Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006, salah satunya saling lempar kebijakan antara pemerintah dan masyarakat, sehingga prosesnya sampai sekarang tidak pernah selesai. Begitupun dengan jemaat HKI Bandung Selatan. Menurut Pdt. Rommel Pardede, upaya perizinan terbilang pelik karena banyak persoalan sosial dan struktural.
Pada catatan advokasi JAKATARUB dan PGIW Jawa Barat, proses pengurusan perizinan itu punya sejumlah variasi dalam kemandekan. Umumnya gereja-gereja tadi telah memenuhi syarat minimal 90 anggota jemaat sebagaimana disyaratkan PBM 2006. Syarat persetujuan 60 warga sekitar, juga telah dikantongi sebagian gereja.
Namun, dalam proses legalisasinya sering kali pejabat setingkat kepala desa/camat tidak langsung mengkonfirmasi tanda tangan warga, juga di tingkat kemenang dan FKUB Kabupaten, demikian pula protes keberatan dari sejumlah kelompok seringkali berujung penarikan dukungan. Kemandekan seperti ini sering dibiarkan menahun. Padahal pemerintah daerah, sebagaimana diamanatkan PBM 2006, punya tanggung jawab untuk memfasilitasinya.
Kebutuhan beribadah, mau tidak mau harus terus dipenuhi. Beberapa warga jemaat akhirnya memilih untuk menempuh jarak yang lebih jauh untuk beribadah Minggu. Jemaat GKP Dayeuh Kolot misalnya harus beribadah di Kapel Rumah Sakit Immanuel, Bandung (sekitar 15 km dari Dayeuh Kolot).
Alternatif lain adalah seperti jemaat HKI Bandung Selatan meminjam dan berbagi tempat ibadah di GKPO Lanud Sulaiman (yang saat ini telah menjadi tempat ibadah lima gereja). Sementara beberapa jemaat memilih untuk tetap beribadah di tempat yang mereka miliki meski itu rentan gangguan.
Melihat data dan fakta yang terjadi saat ini, kebijakan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemenuhan kebebasan beribadah di Kabupaten Bandung harus menjadi perhatian bersama. Pemerintah tidak bisa hanya menunggu bola, namun harus menyadari bahwa perkembangan jumlah penduduk, membutuhkan fasilitasi yang lebih aktif, termasuk untuk pendirian rumah ibadah.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Kabupaten Bandung harus dilihat secara menyeluruh termasuk kebijakan pemerintah daerahnya memfasilitasi dan menjamin hak warganya untuk bebas beribadah. Begitupun dalam konteks sosial masyarakatnya yang harus saling menerima, menghormati, bahkan bekerja sama dalam perbedaan keyakinan.
Inisiasi dialog lintas iman di grass roots perlu ditingkatkan. Ruang-ruang perjumpaan sebagai ruang pengenalan identitas keagamaan yang lebih dalam, tempat saling memverifikasi dan mengkonfirmasi prasangka dan stigma, ruang untuk saling berempati, bahkan saling memotivasi dan mendorong perbedaan itu sendiri.
JAKATARUB sebagai komunitas penggerak perdamaian dan promosi toleransi di Bandung Raya, terus mengupayakan perdamaian melalui berbagai kegiatan advokasi, konsolidasi dan kampanye. Komunitas ini juga siap berkolaborasi dengan siapa saja untuk kemajuan toleransi dan KBB di Bandung Raya.
Editor : Risdo Simangunsong