Perang Takjil dan Menyegarkan Lokalitas Beragama

Share On Your Social Media

Postingan soal perang takjil sempat meramaikan media sosial di minggu awal bulan Ramadhan tahun ini. Banyak tanggapan dan seruan, yang intinya mengomentari dengan nada canda, terkait kebiasaan rekan-rekan yang tidak beragama Islam, turut memborong takjil mendahului rekannya yang berpuasa.

Tentu saja celetukan itu menyegarkan suasana. Sekaligus mengungkap kembali secara segar kebiasaan toleransi yang sekian lama mengakar di nusantara. Bulan Ramadhan dengan segala pernak-perniknya, bukan hanya dinikmati oleh umat Islam, namun juga rekan-rekannya yang Kristiani, Hindu, Buddha, Khonghucu, Penghayat dan lainnya. Hal serupa juga terjadi untuk momen lain seperti Natal, Nyepi atau Imlek.

Banyak pembelajaran menarik yang diambil terkait kemeriahan perang takjil ini. Sekadar mempersempit terkait sikap kita beragama, setidaknya ada dua hal penting yang bisa digarisbawahi.

Pertama, fenomena ini jelas sekali menunjukkan kita tidak pernah beragama di ruang hampa. Makna, ajaran, ritual, simbol dan segala hal terkait agama akan selalu menjejak dengan lingkungan alam dan sosial kita tinggal.

Berpuasa atau berbuka puasa di bulan Ramadhan adalah ajaran dan ritual dalam Islam yang berlaku untuk semua umat Muslim sedunia. Namun ragam bentuk dan model menikmati takjil di Nusantara adalah lokalitas. Bahkan penggunaan istilah takjil, yang sejatinya dalam Bahasa Arab berarti penyegeraan, namun disini berubah makna menjadi penganan untuk berbuka, adalah contoh lokalitas yang tak terbantahkan.

Kesadaran akan lokalitas ini penting disorot, mengingat kecenderungan global terkini yang sering mereduksi dan menyeragamkan cara beragama. Narasi puritan seperti: Islam tidak mengenal ini, atau Kristen tidak boleh begini … dst sering menjadi terlalu keras dan memaksa. Kesadaran akan lokalitas beragama adalah salah satu benteng nalar dan emosional yang paling efektif untuk mencegah narasi tadi menjadi terlalu ekstrim.

Kedua, lokalitas beragama ternyata selalu butuh penyegaran dan kreativitas. Narasi perang takjil di media sosial adalah contoh kreatif tersebut. Kemeriahan bulan puasa dengan takjil jelas sudah ada sejak dulu. Tapi, narasi perang takjil adalah pengolahan kolektif yang kreatif dalam memaknainya. Akhirnya kita menambah perbendaharaan narasi soal beragama yang toleran dan merayakan perbedaan.

Kita tentu punya banyak narasi yang sudah lama ada soal toleransi atau beragama yang rukun. Namun, kita tidak boleh berpuas diri, hanya mengulang-ulangnya menjadi jargon. Kita perlu selalu menumbuhkan cerita baru yang kreatif dan terasa dimiliki oleh semua.  Maka Perang Takjil, sebagaimana Ikut Nyepi, atau mungkin Tur Malam Imlek adalah upaya yang perlu terus diramaikan untuk terus membuat cerita baru soal merayakan keberagaman.

Agar kita selalu menyadari bahwa selamanya beragama kita akan selalu menjejak di lokalitas. Alhamdulillahnya, lokalitas kita yang jadi ciri sejak dulu adalah keberagaman dan toleransi. Tempat dimana takjil tidak sekadar berarti penyegeraan untuk berbuka puasa, atau segarnya hidangan manis, namun juga penyegaran dalam merayakan toleransi.

Kontributor: Risdo Simangunsong (Presidium JAKATARUB)


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 166

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *