“Saya senang di sini (JAKATARUB), salah satunya karena kita benar-benar gerakan lintas iman. Di beberapa komunitas lain sebenarnya baru sebatas gerakan kampanye atau edukasi keberagaman.”
Hal itu pernah diungkapkan oleh rekan pengurus dari latar agama Baha’i, dalam sebuah obrolan ringan. Ungkapan itu lantas diaminkan oleh beberapa rekan dari Hindu dan Penghayat.
Tentu saja, niatan utamanya bukanlah membanding-bandingkan antar pegiat lintas iman. Apalagi JAKATARUB, seperti banyak komunitas lintas iman lain, jelas punya banyak kekurangan. Pun gerakan kampanye keberagaman tentu punya peran penting. Namun, ungkapan jujur ini merupakan otokritik yang kelihatannya penting diperhatikan para pegiat lintas iman.
Poin ini, tanpa sadar sering terlupakan. Komposisi pengurus dan pegiat gerakan lintas iman atau kampanye keberagaman kerap tidak sedari awal melibatkan multi-perspektif. Jujur saja, untuk konteks Indonesia biasanya para pegiatnya kebanyakan berlatar Muslim dan Kristiani. Bahkan, tak jarang inisiatornya dari satu latar agama saja.
Keterlibatan kelompok agama lain, yang katakanlah minoritas, seringnya sekadar sebagai sasaran atau pelengkap. Biasanya mereka diminta hanya menyampaikan pandangan terkait perspektif agamanya di tema yang telah ditentukan. Tidak berbicara sebagai seorang inisiator atau leader gerakan lintas iman. Tidak sebagai konseptor. Jadi, meski secara tampilan itu adalah kegiatan lintas iman, pada hakikatnya itu barulah kampanye yang diinisiasi satu pihak.
Tentu saja kita ngeh akan keterbatasan. Rekan-rekan dari komunitas agama yang terbilang kecil, tidak selalu mudah untuk diakses. Demikian pula, kapasitas sumber daya yang mumpuni sering masih harus fokus pada permasalahan internal umat yang belum bisa ditinggal. Tapi, yang menjadi tugas pegiat lintas iman tentunya adalah memberi ruang dukung menghadapi ketimpangan itu, bukan sekadar menerima dan melanggengkan ada yang tidak tersuarakan.
Apa yang dikerjakan JAKATARUB selama ini mungkin bisa jadi contoh sederhana. Bagaimana akhirnya rekan-rekan dari berbagai latar agama, termasuk dari kelompok agama atau mazhab yang kurang dikenal, dilibatkan sekaligus melibatkan diri secara aktif dan strategis. Tidak hanya sebagai penerima, tapi sebagai pelaku. Tidak hanya mewakili agama/komunitasnya, tapi menjadi perwakilan yang setara dari gerakan lintas iman.
Lebih jauh, ini harusnya juga bukan hanya bicara soal perwakilan tiap komunitas agama.
Seringnya saat bicara gerakan lintas iman atau dialog lintas agama yang terpikir untuk terlibat adalah tokoh agama. Yang sayangnya sering kali gambarannya adalah kelompok pria-dewasa-religius-kelas menengah-non disabilitas… atau secara umum ada di posisi privilege. Suara dari kelompok perempuan, kaum muda/anak, awam, disabilitas, single non religius, kelas bawah, gender non-biner dan banyak kelompok marginal lainnya sering kali tidak tersuarakan. Walhasil dialog dan gerakan lintas agama seringkali tidak berperspektif untuk semua. Terjebak dalam wacana elite and privilege belaka.
Sudah saatnya gerakan lintas iman mulai memikirkan ulang soal suara-suara yang selama ini tidak tersuarakan. Agar kiprahnya kian relevan, dan yang lebih penting, tidak melanggengkan ketimpangan. Sekaligus tidak membiarkan diskriminasi terjadi di gerakan yang harusnya menolak diskriminasi.