Baha’i dan Perjuangan Hak-Hak Sipil di Indonesia

Share On Your Social Media

Agama Baha’i masuk ke Indonesia sejak akhir abad ke-19. Para perintisnya di Indonesia adalah Jamal Effendi dan Sayyid Mustafa Rumi, keduanya dari Iran, yang melakukan perjalanan ke beberapa tempat di Sulawesi Selatan, seperti Makassar, Pare-Pare, hingga ke Bone. Eksistensi penyebaran agama Baha’i di Indonesia semakin terlihat setelah tahun 1920 ketika dr. Muhajir dari Persia kemudian tiba di Mentawai.

Meski sudah setua itu, keberadaan agama Baha’i di Indonesia seakan belum mendapat tempat. Pada era Sukarno, Baha’i dicap sebagai organisasi terlarang karena dianggap menghambat revolusi. Melalui Keputusan Presiden No. 264/1962, Presiden Soekarno melarang keberadaan tujuh organisasi masyarakat, di antaranya agama Baha’i, karena dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia. Setelah puluhan tahun mencengkeram gerak Baha’i, keputusan presiden itu akhirnya dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui Keputusan Presiden No. 69/2000 karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia.

Namun, langkah Gus Dur tersebut tidak membuat eksistensi Baha’i serta-merta diterima. Meskipun hak-hak kebebasan Baha’i untuk berekspresi mulai pulih, stigma sebagai organisasi terlarang masih melekat di benak masyarakat. Baha’i kerap dianggap aliran sempalan Islam yang sesat. Karenanya, segala gerak-gerik Baha’i harus mendapat pengawasan.

Penerbitan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) No. 23 Tahun 2006, menjadi titik penting dalam perjuangan Baha’i di Indonesia. UU Adminduk 2006 ini memberikan kebijakan baru bahwa warga negara yang “agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan perundang-undangan,” boleh mengosongkan kolom agama di KTP.

Akan tetapi, ada dua asumsi kontras mengenai kebijakan ini. Pertama, kebolehan pengosongan agama di kolom agama menjadi angin segar tersendiri bagi mereka yang “agamanya belum diakui.“ Mereka tidak lagi dipaksa untuk berafiliasi terhadap salah satu agama yang dapat dicantumkan di KTP. Namun, jika kolom agama dikosongkan, negara akan memunculkan stigma ateis yang tentu saja akan berpengaruh pada cara pandang masyarakat di bawah. Di sisi lain, jika mereka memilih salah satu dari enam agama itu untuk dimuat di KTP, terlepas dari keyakinan agama mereka sendiri, mereka dapat dituduh memalsukan identitas.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/ 2016 ini tidak mengubah posisi Baha’i, karena putusan tersebut hanya mempertegas hak atas agama, termasuk kepercayaan, bukan dalam rangka merekonstruksi konsep agama agar dapat diakui. Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi mempertegas posisi negara sebagai pengemban tanggung jawab (duty bearers) untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati setiap individu penghayat kepercayaan sebagai pemegang hak (rights holders).

Persoalan kependudukan terkait eksistensi agama Baha’i di Indonesia (seperti juga yang dialami rekan beragama Sikh, Tao, Jains, Yahudi, Shinto, Zoroaster, dll) sepertinya masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Penulis : Indra Anggara

Editor : Risdo Simangunsong

Sumber : CRSC UGM (Haris Fatwa Dinal Maula)


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 185

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *