Pernikahan Dalam Pandangan Berbagai Agama

Share On Your Social Media

Kamis (28/09/2023), Diskusi Temu Nawangsih kembali digelar di kantor Sinode GKP Bandung. Yang unik dalam kegiatan kali ini JAKATARUB dan Tim Nawangsih berkolaborasi dengan Mahasantri Ma’had Aly Kebon Jambu yang sedang melakukan SPS (Studi Praksis Sosial) di komunitas JAKATARUB. Tema yang diangkat pun spesifik Soal Pernikahan dan Hak Asuh Anak ditinjau dari perspektif beragam agama.

Kegiatan ini mencoba menggali pemahaman yang lebih mendalam tentang pernikahan dan hak asuh anak dalam konteks keberagaman agama. Kehadiran tokoh agama dari berbagai keyakinan, mulai dari Islam, Katolik, Protestan, Ortodoks, Baha’i, Konghucu, Non Believer, Hindu, hingga Penghayat Kepercayaan, membuka pintu dialog antaragama yang sangat berharga untuk dijadikan refleksi.

Pandangan para pemuka agama membuka mata kita terhadap keragaman perspektif dalam hal pernikahan dan hak asuh anak. Meskipun ada perbedaan keyakinan, terdapat juga banyak kesamaan yang mendasari konsep keluarga dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak. Ini mengajarkan kita pentingnya menghormati perbedaan sambil merayakan kesamaan yang mengikat kita sebagai manusia.

Dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai komitmen yang kuat dan suci. Sehingga sebelum menikah, seorang pria harus memiliki keyakinan bahwa dia mampu memenuhi tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Dalam setiap pernikahan setidaknya ada tiga hal yang harus dicapai. Pertama adalah rasa nyaman, yaitu pernikahan dimana seseorang merasa nyaman. Kedua, adalah rasa mawaddah, yang berarti pernikahan mengandung perasaan cinta. Yang ketiga adalah rasa rahmah, yang berarti pernikahan mengandung kasih sayang dan kasih sayang terhadap pasangan. Tujuan pernikahan yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah menciptakan rasa kenyamanan dan kedamaian di antara pasangan suami istri (misal Surat Ar-Rum: 21)

Dalam ajaran Kristiani, khususnya Katolik dan Ortodoks, pernikahan dianggap sebagai sakramen yang melibatkan komitmen seumur hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di hampir semua gereja pula, kedua calon mempelai harus mengikuti bimbingan pra-nikah minimal selama 3-6 bulan. Pada saat bimbingan ini kedua calon mempelai diajarkan banyak hal, mulai dari bagaimana menjalin komunikasi yang baik diantara pasangan, sampai pada bagaimana menyelesaikan suatu perkara secara bijak.

Yang unik juga jika mendalami pernikahan dalam agama Baha’i, sebuah agama dunia yang relatif baru, menekankan pentingnya persatuan manusia dan perdamaian dunia. Dalam pandangan Baha’i, pernikahan adalah panggilan untuk menciptakan lingkungan keluarga yang penuh dengan cinta, harmoni, dan saling menghargai.

Dalam agama Hindu pernikahan adalah upacara kebahagiaan merayakan kasih sayang dan kesatuan. Ini adalah hubungan abadi antara dua hati yang saling mencintai dan menghormati. Pernikahan Hindu dianggap sebagai suatu tugas religius dan sosial (dharma), di mana pasangan suami istri memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan keluarga yang penuh dengan cinta, hormat, kesetiaan, pengertian dan harus menjaga dan menghargai perempuan.

Di tradisi Konghucu, pernikahan dianggap sebagai ikatan yang melibatkan dua keluarga, bukan hanya dua individu. Sebagai mana dirangkum dalam perkataan Zi Si, cucu Nabi Kong Zi: “Keselarasan hidup bersama anak istri itu laksana alat musik yang ditabuh harmonis. Kerukunan di antara kakak dan adik itu membangun damai dan bahagia. Demikianlah hendaknya engkau berbuat di dalam rumah tanggamu (Zhong Yong/Kitab Tengah Sempurna XIV: 2).

Pernikahan beda agama dalam agama Konghucu tidak dilarang, karena yang terpenting adalah ada komitmen di antara kedua pasangan. Akan tetapi nantinya orang tua harus berlapang dada terhadap pilihan agama anak mereka, apakah sang anak akan mengikuti agama ayahnya atau agama ibunya.

Pernikahan beda agama dalam keyakinan Penghayat Kepercayaan juga tidak dilarang, karena mereka menganggap yang menikah itu orangnya bukan agamanya. Meski para penghayat memiliki tata cara dan pandangan yang beragam terkait pernikahan. Namun, nilai-nilai universal seperti cinta, pengertian, dan saling menghormati selalu menjadi landasan dalam menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis.

Pandangan umum rekan-rekan Non Believer juga memberi makna tersendiri terkait penikahan. Salah satunya jika memaknai pernikahan sebagai bentuk kesalingan dari seluruh anggota keluarga dalam menciptakan suatu harmonisasi dengan mengedepankan aspek saling menghargai, menghormati dan juga saling memberi kasih satu sama lainnya.

Melalui pemahaman yang mendalam tentang pandangan-pandangan ini, kita dapat menyaksikan kesamaan dalam keberagaman. Meskipun ada perbedaan keyakinan, nilai-nilai universal tetap bersama-sama mengikat semua pandangan tersebut. Ini adalah pengingat bahwa meskipun jalur keagamaan kita mungkin berbeda, esensi kemanusiaan kita adalah satu, dan dalam pemahaman ini terletak kekuatan untuk membangun dunia yang lebih harmonis dan toleran bagi semua orang.

Penulis: Zailani Ritonga (Mahasantri Ma’had Aly Kebon Jambu Cirebon)

Editor : Risdo Simangunsong


Share On Your Social Media
adminjakatarub
adminjakatarub
Articles: 165

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *