Toleransi Keseharian dalam Buka Babarengan GKI Kebonjati

Share On Your Social Media

Acara buka puasa di Masjid mungkin hal biasa dan sering dilakukan di kalangan masyarakat. Tapi buka puasa di gereja, juga sudah jadi tradisi lama di JAKATARUB. Tahun ini kembali bersama Bidang Kesaksian dan Pelayanan (Kespel) GKI Kebonjati, JAKATARUB menggelar Buka Babarengan (BUKBER), yang diselenggarakan pada Rabu (27/3/2024) di ruang selasar GKI Kebonjati. 

Ada lebih dari 160 orang yang hadir dalam kegiatan ini yang berasal dari jemaat GKI Kebonjati, perwakilan lembaga-lembaga keagamaan, pegiat JAKATARUB, masyarakat wilayah Jl. Kebonjati serta sejumlah perwakilan kampus.

BUKBER tahun ini diisi dengan obrolan terkait toleransi dalam keseharian dari ragam profesi. Percakapan ini dipandu oleh presidium JAKATARUB, Risdo Simangunsong, bersama dua pemantik William Ikhsan Umboh dan Yeni Ernita Kusuma Wardani.

William yang merupakan seniman tari menceritakan pengalamannya bagaimana dengan mengajarkan seni tari pada anak-anak, ternyata sangat membantu mereka mengenal perbedaan.

Seni tari merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam mengajarkan keberagaman,” ungkap William. “Karena saat kita menari, secara tidak langsung kita akan belajar cara berpikir masyarakat dengan berbagai filosofinya. Apalagi, saat belajar tari tradisional.

Sementara itu Nita yang merupakan guru agama Hindu menceritakan dua sisi pengalaman keberagaman. Ia menceritakan sisi buruk, dimana beberapa siswa yang mengalami bullying dan nilai agamanya dikurangi oleh pihak sekolah. Namun, ia juga punya pengalaman menarik saat bisa dengan bebas mengenalkan agama Hindu di tengah keberagaman di Jawa Barat.

Obrolan pengantar itu memancing para peserta untuk berbagi pengalaman masing-masing terkait toleransi dan keberagaman.

Jocaste, misalnya, mahasiswi di salah satu kampus di Bandung ini memaparkan kisahnya yang mengaku non-religius di tengah pergaulan kampus. Ada pula Jessy, yang merupakan MC profesional dan guru vokal, menceritakan pengalamannya saat berpartner dengan rekan dari latar berbeda-beda. Fawwaz, yang adalah aktivis guru juga menyoroti bagaimana kita bisa berperan melaporkan bullying dan mendukung sekolah menjadi lingkungan yang inklusif.

Para peserta mengakui bahasan toleransi yang keseharian seperti ini cukup menarik. Masyarakat kita mulai merasakan bagaimana situasi keberagaman di tengah bulan Ramadhan dan kita bisa berbagi banyak hal. Tidak hanya lewat fenomena viral seperti perang takjil, melainkan berbagai pengalaman dan ilmu keberagaman di lingkungan sekitar. 

Dalam sambutannya, Trisno mewakili Kespel GKI Kebonjati mengaku sangat senang bila gereja bisa menjadi tempat untuk kebersamaan dalam berbuka puasa. Tradisi seperti ini menurutnya perlu terus dikembangkan. Perwakilan RW dari kelurahan Kebon Jeruk, juga bersyukur atas kebersamaan seperti ini.


Share On Your Social Media
Nita Kusuma
Nita Kusuma
Articles: 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *